JAKARTA – PT Pertamina (Persero) diamanatkan kembali oleh pemerintah untuk menggenjot ekspansi lapangan minyak di luar negeri, agar hasil produksinya bisa dibawa ke tanah air. Untuk bisa menjalankan amanat itu Pertamina diminta untuk berbenah dan menyamakan visi antara direksi, komisaris dan pemegang saham.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer, mengatakan hal tersebut sangat penting untuk posisi Pertamina ke depan dalam aksi korporasinya agar kasus yang menimpa mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan tidak terulang. Selain itu, pemerintah juga harus ikut melindungi aksi korporasi tersebut, karena jika tidak maka setiap risiko bisnis yang ada tidak akan mau diambil Pertamina.

“Saya kira kemudian harus satu paham antara pemerintah dengan Pertamina secara utuh. Dewan komisaris dan direksi sama di dalam melihat masalah bisnis, jangan sampai masalah bisnis  dibawa ke pidana,” kata Komaidi kepada Dunia Energi, Jumat (23/8).

Ia menilai satu poin utama yang harus dipahami bersama adalah bahwa dalam berbisnis ada risiko, tidak selalu mendapatkan untung. Selain itu, asalkan aksi korporasi telah melalui tata cara dan prosedur sebagaimana mestinya, apabila terjadi kerugian maka itu sudah merupakan hal wajar dalam berbisnis. Kecuali kerugian timbul kalau ada yang dilanggar.

“Kalau dilanggar harus ada penyelesaian sendiri, tapi perdata tidak sampai pidana. Jadi kalau kerugian korporasi dikembalikan saja jangan sampai dibawa ke pidana,” ungkap Komaidi.

Pertamina saat ini telah memiliki beberapa lapangan produksi di luar negeri yang dikelola anak usahanya, PT Pertamina Internasional EP di 12 negara diantaranya Irak, Aljazair, Malaysia, Kanada, Kolombia, Perancis, Gabon, Italia, Myanmar, Namibia, Nigeria dan Tanzania. Proyeksi rata-rata produksi mencapai 112 ribu barel per hari (bph). Pada 2019, Pertamina Internasional menargetkan bisa membawa delapan juta barel minyak ke Indonesia.

Dalam buku nota keuangan Rancangan Anggaran Penerimaan Belanja Negara (RAPBN) 2019, pemerintah memberikan penugasan baru kepada PT Pertamina (Persero) untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan minyak di luar negeri. Bahkan pemerintah memperbolehkan Pertamina mengakuisisi perusahaan minyak yang secara finansial kurang sehat, namun memiliki cadangan minyak tinggi. Perusahaan ini bisa diakuisisi dengan harga murah dan tidak membebani APBN, yang kemudian disehatkan melalui kebijakan korporasi tertentu.

Terobosan kebijakan tersebut diharapkan dapat mendukung peningkatan produksi migas sekaligus menekan angka impor BBM yang bermuara pada penciptaan surplus transaksi berjalan secara bertahap.(RI)