JAKARTA – Pengawasan yang kurang maksimal dinilai menjadi masalah utama di sektor pertambangan. Besar dan banyaknya ruang lingkup usaha pertambangan dari skala kecil hingga skala besar tidak mampu diawasi maksimal oleh pemerintah.

Bisman Bakhtiar Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), mengatakan aparatur pengawas dalam hal ini inspektur pertambangan yang hanya sekitar 1.000 orang sangat terbatas untuk mengawasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) jumlahnya ribuan, belum lagi yang ilegal.

“Selain itu soal adanya perpindahan status kepegawaian inspektur tambang yang sebelumnya merupakan pegawai daerah, saat ini menjadi pegawai pusat yang bertempat di provinsi. Juga masalah sarana dan prasarana yang tidak mendukung, masalah kapasitas dan integritas yang juga perlu peningkatan,” kata Bisman kepada Dunia Energi, Jumat (26/10).

Bisman menilai wajar dengan adanya penambahan alokasi anggaran untuk inspektur tambang yang sangat diperlukan untuk memaksimalkan pengawasan oleh pemerintah.

“Namun ini masih jauh dari yang ideal. Dibutuhkan peningkatan anggaran yang sangat besar yang bisa dilakukan secara bertahap,” katanya.

Komisi VII DPR telah menyetujui penambahan anggaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk tahun depan. Dengan persetujuan tersebut akan ada tambahan dana sebesar Rp1,5 miliar yang ditujukan khusus untuk keperluan inspektorat pertambangan di daerah.

“Kenaikan Rp1, 5 miliar digunakan (sebagai) tambahan untuk pembinaan 800 inspektur yambang yang (semula) ada di masing-masing daerah, yang (kini) menjadi pegawai pemerintah cq Kementerian ESDM dan direktorat jenderal. Yang lainnya, tidak ada perubahan,” kata Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam rapat dengan Komisi VII DPR, belum lama ini.

Dengan adanya kenaikan sebesar Rp 1,5 miliar. demikian, total anggaran Kementerian ESDM 2019 menjadi Rp4,898 triliun.

“Dana untuk inspektur tambang tersebut dimasukkan ke anggaran Ditjen Minerba sehingga menjadi Rp295,524 miliar, di mana anggaran sebelumnya Rp294,012 miliar,” kata Jonan.

Untuk Ditjen Migas, total anggaran tidak mengalami perubahan yaitu Rp1,171 triliun yang akan digunakan untuk belanja aparatur, belanja publik fisik dan non fisik. Sejumlah kegiatan prioritas Ditjen Migas 2019, antara lain penawaran wilayah kerja migas konvensional dan non konvensional, pembagian converter kit BBM ke LPG untuk nelayan dan petani serta pembangunan jaringan gas bumi untuk rumah tangga.

Komisi VII DPR sebelumnya juga sudah meminta peningkatan pengawasan dari inspektorat lantaran pengawasan selama ini hanya mengandalkan sistem manual, sehingga berpotensi terjadi masalah lebih besar dibanding menggunakan sistem monitoring dengan memanfaatkan teknologi.

“Saya miris pengawasan fungsi batu bara. Saya melihat peningkatan PNBP bisa dibesarkan. Semua tambang ini tidak benar, karena manual, dan inspekturnya konyol. Silahkan lakukan penelitian bangun teknologi IT monitoring di seluruh tambang batu bara,” kata Muhamad Nasir, Wakil Ketua Komisi VII DPR.(RI)