JAKARTA – Pemerintah hampir dipastikan tetap akan melanjutkan kebijakan kewajiban penyaluran batu bara untuk dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) sebesar 25% dari produksi.

Untuk memastikan aturan itu berjalan

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyiapkan sanksi baru bagi perusahaan yang kedapatan tidak memenuhi kewajiban DMO. Nantinya, bentuk sanksi yang dikenakan tak lagi berupa penyesuaian produksi.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, mengatakan sanksi penyesuaian produksi bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban DMO di 2019 sulit diterapkan.

“Kami cari formula baru. Mungkin tahun depan beda sanksinya. Ini sudah disampaikan perusahaan apakah sanksi berupa denda. Ini usulan dari perusahaan,” kata Bambang di Jakarta, Rabu (20/11).

Sanksi penyesuaian produksi sudah diterapkan pada tahun ini. Tercatat sebanyak 34 perusahaan yang belum memenuhi DMO. Pasalnya dari 121 juta ton target DMO di 2018, hanya tercapai 115 juta ton. Perusahaan batu bara yang terkena pemangkasan produksi itu mayoritas berada di Kalimantan Timur. Namun sanksi tersebut berdampak pada pengurangan tenaga kerja, penerimaan negara dan pendapatan daerah serta dampak sosial lainnya.

Salah satu pemerintah daerah bahkan ikut-ikutan memprotes sanksi yang diberikan Kementerian ESDM ini, salah satunya  Gubernur Kaltim Isran Noor yang bahkan langsung mengadu ke Presiden Joko Widodo.

Bambang menerangkan sanksi saja yang mengalami perubahan. Sedangkan kewajiban 25% DMO tetap diberlakukan. Dia menegaskan kewajiban itu guna menjamin pasokan batu bara bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Selain kebijakan DMO yang ditetapkan 25% dari produksi, harga patokan batu bara yang segera berakhir pada 31 Desember 2019 nanti juga kemungkinan besar akan tetap dipertahankan.

Menurut Bambang, kebijakan harga batu bara untuk pembangkit sangat penting dalam rangka menjaga tarif listrik tetap terjangkau bagi masyarakat. Hanya saja dia enggan memastikan besaran harga patokan itu US$70 per ton alias sama yang diberlakukan sejak Maret 2018 kemarin.

“Harga khusus ini untuk PLN yang memang untuk rakyat. Kalau tidak ada harga khusus, subsidi listrik bisa naik,” kata Bambang.(RI)