Perjalanan ke Rote, pulau paling selatan Indonesia, yang masuk wilayah Nusa Tenggara Timur,  sudah terkenal bukan perjalanan mudah. Kita harus menumpang pesawat. Bukan sekali tapi dua kali jika dari Jakarta. Menuju ke Kupang kemudian transit pindah menggunakan pesawat lebih kecil. Maklum saja bandara  DC  Saundale bukanlah bandara besar. Ruang tunggu sekaligus bangunan utamanya saja tidak lebih besar seperti bangunan sekolah dasar di ibu kota. Landasan pacu pun hanya 900 meter.

Tidak hanya di udara yang diringi goncangan, perjalanan darat di Pulau Rote juga penuh goncangan, lantaran bebas hambatan akibat sedikitnya penduduk membuat siapapun yang duduk dibalik kemudi mobil pasti terpacu adrenalin untuk injak dalam-dalam pedal gas. Kegersangan tanah-tanah di wilayah timur Indonesia memang bukan isapan jempol. Di sini matahari seakan memiliki beberapa saudara kembar membuat panasnya berlipat-lipat. Bayangkan saja apa yang dilalui masyarakat asli Rote saat keluar rumah hanya berjalan kaki atau bermodal sepeda atau sepeda motor.

Sepanjang jalan mobil yang saya tumpangi meliuk-liuk membelah jalanan kering pulau Rote. Meskipun kecepatan sudah tinggi tetap butuh waktu sekitar hampir 1 jam menjangkau salah satu titik Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Rombongan kendaraan yang saya tumpangi akhirnya melambat sementara masyarakat lokal sudah mulai beranjak dari tempat duduk dan mengerubungi bangunan SPBU yang terlihat masih mulus berwarna merah cerah, warna khas PT Pertamina (Persero). SPBU berkode 56.851.23 terlihat mencolok dipinggir jalan, tanpa ada bangunan lain yang menemani sejauh mata memandang.

SPBU di desa Edalode Kecamatan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao ini bukan SPBU biasa karena jadi yang pertama di wilayah tengah pulau Rote.

Adapun satu SPBU lainnya berada kurang lebih hampir satu jam perjalanan berada di Baa, Kecamatan Lobalain. Berarti baru ada dua SPBU resmi yang tersedia di Rote. Abang, salah seorang warga Baa, mengaku harus menempuh jalan selama hampir satu jam jika ingin membeli bensin.

“Ada sih satu lagi SPBU, tapi ya jauh, kita kalau mau beli BBM jalan dulu setengah jam lebih pakai motor,” kata Abang baru-baru ini di Rote Ndao.

Dia tidak punya pilihan lain karena ketersediaan BBM di sekitar rumahnya dikuasai oleh pengecer yang tentu saja menjual BBM dengan harga  berbeda jauh dengan harga resmi dari Pertamina. “Ada yang jual, pengecer harganya Rp 10 ribu per liter,” ujar Abang.

Kondisi tersebut tentu sangat mengganggu aktifitas warga. Selain membutuhkan biaya lebih besar, waktu otomatis akan terbuang hanya untuk mendatangi SPBU yang menjual BBM dengan harga resmi, belum lagi warga harus rela mengantre untuk mendapatkan beberapa liter bensin.

Karena itu kehadiran SPBU kedua di pulau Rote ini memang sudah sangat dinantikan Abang dan masyarakat di desa Edalode dan sekitarnya.

Pengoperasian SPBU dengan tangki timbun berkapasitas 80 kiloliter (KL) tersebut merupakan titik ke-128 dari program BBM satu harga. SPBU BBM Satu Harga di Edalode  memiliki kapasitas tangki pendam untuk premium 40 KL, solar 20 KL dan pertalite 20 KL. Untuk melayani pelanggan, SPBU memiliki delapan nozzle yang terdiri dari empat nozzle untuk premium, dua nozzle solar dan dua nozzle pertalite.

SPBU seperti di Pulau Rote ini akan terus dikebut pembangunannya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahkan sudah memutuskan untuk menambah jumlah titik pembangunan BBM satu harga yang menjual BBM dengan harga resmi yakni Premium Rp 6.450 per liter dan Solar seharga Rp 5.150 per liter.

Djoko Siswanto, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan hingga akhir 2019 target penyelesaian BBM satu harga sebanyak 170 titik SPBU dan jumlahnya akan ditambah menjadi 500 titik SPBU yang akan dikerjakan secara bertahap. Sehingga ada pembangunan SPBU di 330 titik baru yang akan dikerjakan secara bertahap mulai 2020. “Pemerintah punya rencana untuk melanjutkan program BBM Satu Harga, menambah menjadi 500 titik SPBU dalam lima tahun,” kata Djoko belum lama ini.

Sejak digulirkan pada 2017, program BBM satu harga memang jadi salah satu program andalan pemerintah Joko Widodo dalam rangka pemerataan energi. Dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 36 Tahun 2016 tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan Secara Nasional. Permen ini mengamanatkan agar Badan Usaha penyalur BBM mendirikan penyalur di Lokasi Tertentu yaitu lokasi-lokasi yang belum terdapat Penyalur Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan, sehingga masyarakat dapat membeli BBM dengan harga jual eceran yang ditetapkan Pemerintah. Target Kebijakan BBM satu harga yaitu pembangunan sekitar 150 lembaga penyalur hingga tahun 2019.

Belakangan, jumlah target lokasi BBM satu harga juga jauh meningkat dari yang hanya ditargetkan hanya 150 titik hingga 2019 ini menjadi 170 titik. Bahkan kembali diperpanjang hingga 2024 dengan total jumlah lokasi sebanyak 500 titik atau wilayah.

Program ini  juga mampu menepis anggapan  bahwa arah pembangunan masih jawa sentris. Boleh dibilang program ini cukup fenomenal karena untuk pertama kali sejak Indonesia merdeka harga BBM khususnya untuk jenis Premium dan Solar di berbagai wilayah pedalaman, terutama di timur Indonesia bisa sama dengan harga BBM di kota-kota besar Indonesia di pulau Jawa seperti Jakarta.

M Fansrullah Asa, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), mengatakan penambahan jumlah titik penyaluran BBM satu harga merupakan hasil dari inisiatif pemerintah yang berkoordinasi dengan pemerintah daerah.

Pemerintah, menurut Fansurullah, sadar bahwa target sebelumnya memang jauh dari kenyataan akan kebutuhan masyarakat akan BBM satu harga.

“Jadi ini pemerintah daerah juga mengusulkan agar di wilayahnya juga dibangun BBM satu harga, kita koordinasi dan kita tetapkan untuk sementara 330 titik baru,” kata Fanshurullah di Jakarta, Kamis  (15/8).

Menurut dia, jumlah tersebut bisa saja terus bertambah karena sebenarnya sampai sekarang setidaknya ada 1.582 kecamatan di wilayah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T). “BPH Migas mencatat ada 1.582 kecamatan 3T, tapi kan untuk kejar itu butuh waktu dan dana makanya kita bertahap menuju ke sana. Wilayahnya akan segera ditetapkan Dirjen Migas ,” katanya.

Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, menilai memang sudah sewajarnya pembangunan lembaga penyalur BBM satu harga ditambah karena sampai sekarang BBM masih menjadi kebutuhan dasar masyarakat, termasuk di daerah pelosok. Di sisi lain, Pertamina, menurut Mamit, sebagai badan usaha yang ditugaskan untuk penyediaan BBM satu harga memiliki kemampuan mumpuni untuk perluasan program ini. Baik dari sisi ketersediaan pasokan BBM maupun biaya.

“Walaupun memang akhirnya menjadi beban bagi Pertamina tapi saya kira jumlahnya tidak terlalu signifikan karena Pertamina bisa melakukan subdisi silang untuk BBM Satu harga ini. Krena pasti cost perliter yang dikeluarkan akan jauh lebih mahal mengingat masuk ke wilayah remote,” ujarnya.

Selain harus terus menambah wilayah BBM satu harga, Mamit mengingatkan agar pada saat pelaksanaan pemerintah, Pertamina serta stakeholders terkait wajib melakukan pengawasan sehingga program ini bertahan lama. Maksudnya harga yang sudah dipatok sama rata tidak lagi merangkak naik.

“Jangan sampai nanti hanya berjalan sebentar atau sekedar ceremony saja, tapi kontinuitas ini harus dilakukan. Memang pasti ada yang namanya kecurangan misalnya masyarakat akhirnya menjual kembali lebih mahal dari harga Pertamina. Tapi setidaknya bisa melakukan pemerataan. Harapannya supaya perekonomian masyarakat bisa tumbuh terkait dengan BBM 1 harga ini,” jelas Mamit.

Meskipun sempat dicibir dan dinilai sebagai program berbau politis, faktanya BBM satu harga ini telah memberikan manfaat sangat signifikan bagi perekonomian masyarakat. Sudah sepatutnya tradisi puluhan tahun ketidakadilan menikmati energi dihentikan. BBM satu harga jadi salah satu alat utama untuk memutus tradisi itu. (rio indrawan)