JAKARTA– Adalah Kukuh Diki Prasetia, 30 tahun. Jebolan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini memanfaatkan potensi menjamurnya kedaii-kedai kopi di Tanah Air dengan terjun menjadi petani kopi. Kukuh memiliki lahan kopi seluas 100 hektare (ha) di Kecamatan Ulubelu, Kabupaten Tanggamus, Lampung.

Dari lahannya ini, Ketua Kelompok Kopi Beloe ini mampu memproduksi sekitar 100 ton kopi per tahun. Keberhasilan ini ditularkan pada petani lainnya. Dengan pelatihan dan bimbingan jangka panjang diharapkan para petani kopi di Ulubelu dapat menerapkan pertanian kopi yang paripurna. Mulai dari cara menanam, memanen dan mengolah kopi, mengemas produk kopi sendiri, sampai pemasaran produk kopi kepada konsumen.

“Dalam setiap kesempatan, para petani juga selalu diingatkan agar tidak melepas ceri kopinya saat masih hijau kepada tengkulak. Hasilnya langsung terasa, pada 2018 itu juga para petani sudah bisa bebas dari jeratan sistem yang dibuat para tengkulak kopi,” ujarnya.

Kukuh mengungkapkan, hasil nyata dari implementasi pertanian paripurna adalah terwujudnya harga kopi yang lebih baik bagi petani. Sebelumnya, saat tak punya pilihan selain mengijon hasil tani kopinya kepada tengkulak, petani terpaksa melepas ceri kopi sesuai dengan harga yang dipatok sepihak oleh tengkulak. Jika dibandingkan dengan nilai sekarang, sekitar Rp 13.000 sampai Rp 16.000 per kilogram. Tetapi kini dengan menghasilkan produk kopi sendiri, kelompok tani bisa menjual produk kopi sampai Rp 125.000 per kilogram.

“Kami fokus kepada fair trade atau perdagangan yang berkeadilan. Dengan begitu, mewujudnya (pertanian kopi) dari hulu ke hilir ini akan mewujudkan fair trade yang baik dan benar,” tegas Kukuh.

Kini, tercatat ada sekitar 49 kelompok tani penerima manfaat dari program Ngopi Doeloe. Beberapa di antaranya, sukses membentuk sekitar 24 UMKM yang sudah bisa memproduksi dan menciptakan merek kopinya sendiri. Secara keseluruhan, ada lebih dari 1.000 warga penerima manfaat dari keberadaan program Ngopi Doeloe dari PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang.

Arif Mulizar memgakui, sistem perdagangan yang tidak adil ini pernah terjadi terhadap petani kopi jenis robusta di Ulubelu Petani kopi di sana dinilai belum teredukasi dengan baik sehingga dampaknya terjadi unfair trading di mana petani kopi sering kali harus menjual kopinya ketika masih di batang.

“Akibatnya, kesejahteraan petani kopi di Ulubelu tidak berkembang. Bahkan mereka tidak dapat menyesap nikmatnya harga kopi yang tinggi seiring hype kopi di pasaran sejak 2012,” ujar Arif Mulizar, Supervisor External Relation PGE Ulubelu dalam acara “Proving League 2021: Kesaksian Local Hero dalam Memperluas Manfaat CSR BUMN”, Sabtu (9/10). Padahal 83% warga Kecamatan Ulubelu merupakan petani kopi. Ulubelu dan kecamatan lainnya di Kabupaten Tanggamus memang jadi sentra produsen kopi bagi provinsi Lampung, di mana sekitar 40% produksi kopi Lampung dihasilkan dari Tanggamus.

Kondisi miris ini membuat PGE Ulubelu yang memiliki wilayah kerja panas bumi di Ulubelu prihatin. Pihak PGE yang merupakan bagian dari Sub Holding Power, New and Renewable Energy Pertamina pun melakukan pendekatan kepada petani sejak 2017. Setelah permasalahan dipetakan, PGE meluncurkan program Ngopi Doeloe setahun berselang.

Program ini memberikan pelatihan serta bimbingan kepada petani dalam mengembangkan komoditas kopi robusta Ulubelu dari hulu sampai hilir. Mulai dari tahapan menanam, memanen, sampai mengolah hasil panennya menjadi produk siap jual. “Program Ngopi Doeloe ini jadi program unggulan dan fokus kami dalam pelaksanaan community development,” tutur Arif.

Hebatnya lagi, produk-produk kopi robusta Ulubelu kini sudah tersebar luas di berbagai daerah, mulai dari Lampung, Palembang, Jakarta, Bandung, hingga Yogyakarta. Kopi Ulubelu bahkan sudah melanglang buana ke pasar internasional, dari Singapura sampai Italia. Untuk membantu pemasaran produk, dijelaskan Kukuh, kopi Ulubelu rutin dipromosikan ke berbagai festival kopi baik di dalam maupun luar negeri. “Targetnya pada 2024 kita bisa melakukan ekspor secara besar-besaran,” ujarnya.

Program Ngopi Doeloe ini merupakan inisiasi dari PGE Area Ulubelu dengan pemerintah setempat yang berfokus pada pengelolaan pasca-panen benih kopi dengan tujuan untuk menciptakan kemandirian petani kopi di Ulubelu dalam mengolah hasil panen sehingga berdampak pada harga jual kopi olahan yang lebih tinggi.

Program Ngopi Doeloe membantu para petani mulai dari pembibitan, perawatan, panen, sortasi biji, penjemuran, sangrai/Roasting, giling, pengemasan sampai dengan pemasaran dan pengolahan varian produk.

Selain itu, dari segi edukasi untuk para petani, PGE membentuk Rumah Belajar Kopi sebagai sarana bagi para petani untuk pengembangan pengetahuan kelompok petani dan masyarakat. Sedangkan, dari segi inovasi sejauh ini telah menghadirkan tiga inovasi yang membantu para petani untuk mengolah benih kopi seperti inovasi pengering kopi memanfaatkan panas dari brine, inovasi roasting hemat biaya, dan inovasi sortasi. (RA)