JAKARTA – PT PLN (Persero) menjanjikan penerapan tarif adjustment pada tahun depan akan membuat tarif dasar listrik turun. Namun dengan catatan ada penambahan pasokan listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Djoko R Abumanan, Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN, mengatakan PLN sangat siap untuk menjalankan kebijakan tarif adjustment, termasuk jika harus terjadi penurunan tarif listrik. Namun jika tarif ingin turun,  pasokan listrik harus berasal dari pembangkit listrik yang bisa memproduksi listrik secara murah.

Hingga kini PLTU merupakan primadona pembangkit listrik PLN karena berbiaya produksi listrik paling murah di antara pembangkit listrik lain. Apalagi harga jual batu bara untuk pembangkit listrik sudah dipatok pemerintah sebesar US$70 per ton.

“Kalau 35 ribu megawatt (MW) masuk, turun (tarif listrik). Kan murah-murah masuk banyak PLTU,” kata Djoko ditemui di Gedung DPR Jakarta, Kamis (27/6).

Konsekuensi dari penerapan dari tarif adjustment adalah perubahan harga tarif dasar listrik, termasuk penurunan harga. Namun dengan catatan didukung beberapa faktor termasuk Biaya Pokok Produksi (BPP).

PLTU masih menjadi penyumbang pasokan listrik terbesar di Indonesia.  Bauran energy mix hingga Maret 2019 mencatat kontribusi batu bara mencapai 61,82%. Jumlah tersebut meningkat dibanding bauran energy pada tahun lalu yang mencapai 59,91%. Jumlah bauran energy tahun lalu juga sebenarnya sudah meningkat jika dibandingkan bauran energy 2017 untuk batu bara yang mencapai 58,14%.

Djoko mengatakan PLN juga berharap kebijakan harga khusus batu bara untuk pembangkit listrik masih bisa dipertahankan, mengingat ketetapan harga yang maksimal sebesar US$70 per ton akan habis masa berlakunya pada tahun ini. Apabila harga batu bara tidak lagi ditahan, maka yang akan menjadi korbannya adalah masyarakat. Karena tingginya beban biaya produksi nanti bisa dibebankan kepada harga jual listrik kepada masyarakat.

“Lagi dibahas, kami habis tahun ini, Kami minta (harga baru bara ditahan) terus atau suruh cabut biar harga di rakyat naik?” ujar Djoko.

Komponen pembentuk tarif listrik ada dua hal. Pertama, fixed cost yang dibentuk dari komponen biaya pemeliharaan, beban bunga, administrasi dan depresiasi serta ongkos kepegawaian. Sedangkan untuk variable cost adalah harga bahan baku pembangkit dan ongkos pembelian tenaga listrik dari pihak swasta dan biaya sewa.

“BPP sangat dipengaruhi beberapa faktor, terutama kurs dan ICP. Makanya, kenapa apabila mau mengikuti tarif adjustment, harga bisa berubah sewaktu waktu,” kata Djoko.

Pada Maret 2019 semestinya tarif listrik apabila mengikuti pergerakan penentu tarif maka PLN bisa saja membanderol tarif listrik sebesar Rp 1.348 per kWh. Komponen terbesar dari pembentuk harga tersebut adalah bahan baku pembangkit yang sebesar Rp 558 per kWh. Selain itu ada biaya pembelian tenaga listrik yang sebesar Rp 338 per kWh. Selain itu, ada komponen lain yang mempengaruhi tarif listrik.

Pada April, tarif sesuai keekonomian berada diangka Rp 1.352 per kwh. Beban bahan bakar sebesar Rp 555 per kWh, sedangkan pembelian listrik dari pihak swasta naik dibandingkan Maret menjadi Rp 348 per kWh.

“Namun, masyarakat kan menikmati harga yang ditahan seperti saat ini sebesar Rp 1.132 per kwh. Selisih harga inilah yang diberikan  pemerintah sebagai kompensasi,” kata Djoko.(RI)