JAKARTA – Target produksi minyak nasional satu juta barel per hari (bph) pada 2030 yang dicanangkan pemerintah dinilai sulit terealisasi, apalagi jika kondisi atau upaya pencarian minyak tidak ada perubahan signifikan. Tumbur Parlindungan, praktisi migas, mengatakan dalam pencarian cadangan migas ada forecast production dan success ratio. Success ratio temuan cadangan minyak Indonesia sekarang ini masih kurang dari 50%. Padahal ini menjadi poin penting tercapai tidaknya target produksi satu juta bph.

Tumbur mencontohkan temuan potensial di Ande-Ande Lumut yang menjadi salah satu temuan besar, tapi masalah monetisasi dan penggunaan teknologi bisa menghambat pengembangannya. “Ada kemungkinan sukses kalau kita lihat Lapangan Ande-Ande Lumut, itu heavy oil perlu steam flood. Di bawah 50% (success ratio), bukan enggak mungkin kalau kita benar-benar menemukan cadangan dengan teknologi baru,” kata Tumbur dalam diskusi virtual, Selasa (5/5).

Salah satu kunci utama dalam mengejar target produksi satu juta barel adalah dengan menggenjot kegiatan eksplorasi. Masalahnya, sekarang tidak akan ada perusahaan besar yang dengan sukarela mau menggelontorkan dana besar untuk eksplorasi besar-besaran. Itu bisa dilihat dari beberapa tahun pelaksanaan lelang blok migas, tidak ada perusahaan besar yang terlibat dalam pengelolaan blok migas baru.

Menurut Tumbur, hal itu bisa dimaklumi karena perusahaan besar, seperti Shell, Chevron, Exxon dan Total tidak akan melirik reserve yang jumlahnya kurang dari 100 juta barel setara minyak. Untuk perusahaan dengan kelas di bawahnya, seperti HESS, ConocoPhillips, termasuk National Oil Company (NOC) luar negeri seperti Petronas, PTTEP Thailand, Repsol baru akan melirik jika jumlah reserve-nya lebih dari 50 juta barel setara minyak.

Tumbur mengatakan kehadiran Foreign Direct Investment sangat penting karena hanya mereka yang memiliki dana besar berputar untuk berbagai kegiatan eksplorasi. “Kita lihat lelang blok migas, reserve-nya tidak seberapa. Jadi itu tidak akan dilirik oleh perusahaan-perusahaan besar,” kata dia.

Satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan menarik junior company yang mau mengambil risiko tinggi untuk mencari potensi cadangan di tanah air. Selama ini di luar Indonesia junior company berperan strategis mencari cadangan yang saat ketemu, mereka menjualnya ke perusahaan besar. Itu lah yang harus ditingkatkan di Indonesia bagaimana menarik para junior company untuk melakukan eksplorasi.

Tumbur mencontohkan temuan besar di Tangguh, bukan oleh British Petroleum (BP) yang menjadi operator di sana saat ini, tapi oleh Arco yang kemudian diakuisisi BP. “Company akan datang kalau cadangan terbukti besar.  Kita perlu undang perusahaan-perusahaan kecil, tapi mau mengambil risiko eksplorasi.  Kita butuh pionir yang mau melakukan pengeboran, seperti Repsol  di Aceh ada prospek bagus,. Kita butuh pemain yang mau main eksplorasi, karena big company fokus diatas 100 juta barel ke atas,” ungkapTumbur.

Menurut dia, dengan data cadangan migas yang dimiliki Indonesia sekarang masih akan sulit bersaing dengan wilayah lainnya. Untuk saat ini wilayah Afrika harus diakui memiliki cadangan dalam jumlah besar yang sudah banyak terbukti sehingga banyak perusahaan besar yang memilih “bermain” di sana. ” Sekarang yang jadi hot spot Afrika, size (cadangan)-nya besar,” tukas Tumbur.

Pemerintah juga sering menyatakan peningkatan produksi untuk menuju satu juta barel per hari bisa dicapai melalui kegiatan Enhance Oil Recovery (EOR) . Padahal menurut Tumbur, EOR jika dilakukan di lapangan yang sudah hampir habis cadangannya di reservoir justru tidak efektif dan membutuhkan biaya lebih besar.

Metode EOR seharusnya sudah direncanakan pada saat penyusunan Plan of Development (PoD) atau rencana pengembangan sehingga berbagai rencana pengembangan sudah mempersiapkan kegiatan EOR.

“Waktu decaline, enegi resevoir sudah hilang. Kalau baru EOR saat ini cost-nya lebih maha., EOR itu continues improvement, aa pilot dari awal. kalau sudah jalan (produksi mau habis) itu susah jalannya,” kata Tumbur.(RI)