JAKARTA – Perubahan nomenklatur PT Pertamina (Persero) dinilai cacat hukum karena tidak melalui kajian komprehensif. Bahkan jika suatu kebijakan dalam bentuk keputusan menteri ditetapkan tanpa melalui kajian maka tidak salah jika surat keputusan (SK) tersebut dinyatakan SK bodong.

Inas Nasrullah, Wakil Ketua Komisi VI DPR, mengatakan dalam pengambilan keputusan, apalagi yang berurusan dengan badan usaha milik Negara (BUMN) harus melalui kajian terlebih dulu. Pasalnya, setiap produk hukum harus berlandaskan sesuatu yang jelas dan telah melalui proses kajian mendalam.

Perubahan nomenklatur merupakan sebuah kebijakan substansial yang berhubungan dengan aksi korporasi. Komisi VI DPR sebagai komisi yang membidangi aksi korporasi tersebut sudah sewajarnya menerima informasi terkait perubahan jajaran direksi Pertamina.

“Susunan perusahaan kan korporasi, seharusnya bicara dulu sama DPR. Ini kan tidak dan kajian juga tidak ada. Saya minta kajian di panja lalu, tapi tidak ada. Saya tanya mengenai kajian SK tidak ada. Artinya ini mendadak tiba-tiba, akhirnya hanya like and dislike sama saja SK bodong,” kata Inas usai menghadiri diskusi bersama Forum Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) di Hotel Atlet Century Jakarta, Rabu (21/3).

Menurut Inas, muara kekisruhan perubahan nomenklatur adalah akibat ketergesaan pemerintah untuk mewujudkan induk usaha (holding) BUMN migas dengan menjadikan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) menjadi bagian dari Pertamina melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 diikuti dengan penerbitan PP Nomor 6 Tahun 2018.

Perubahan nomenklatur tertuang dalam Nomor 39/MBU/02/2018. Selain perubahan nomenklatur pemerintah juga melakukan pemberhentian, pengalihan tugas anggota direksi Pertamina.

Isi SK tersebut mencakup, memberhentikan Yenni Andayani sebagai direktur gas Pertamina; menghapus direktur gas; direktur pemasaran menjadi direktur pemasaran retail; menambah posisi direktur pemasaran korporat, menambah posisi direktur logistik, supply chain, dan infrastruktur. Serta menetapkan Muchamad Iskandar menjadi direktur pemasaran korporat dan merangkap sebagai pelaksana tugas direktur pemasaran retail hingga diangkat pejabat definitif.

Menurut Inas, DPR meminta kebijakan pemerintah dalam mengurus Pertamina sebagai perusahaan migas terbesar milik negara ditinjau ulang. Karena kondisi yang ada saat ini dinilai tidak sehat bagi perusahaan. Jika SK terbit tanpa kajian sama saja menerbitkan undang-undang tanpa naskah akademik, maka UU tersebut dikatakan bodong.

“Semua kan harus ada dasarnya, kalau SK harus ada kajian begitu,” kata Inas.

Gigih Prakoso, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina, mengatakan masih butuh waktu dalam meneruskan kebijakan pemerintah terkait perubahan nomenklatur. Pertamina tidak bisa memastikan kapan posisi direksi yang baru akan terisi, karena keputusan masih ditangan pemerintah sebagai pemilik saham.

“Ya kajian masih jalan butuh waktu, tapi itu keputusan pemerintah,” tandas Gigih.(RI)