JAKARTA – Harapan agar gas Masela bisa diproduksikan pada sekitar 2027-2028 sepertinya sulit bisa terwujud. Apalagi kondisi ekonomi dan konsumsi energi dunia saat ini anjlok akibat pandemi Covid-19 yang dampaknya juga diperkirakan masih akan terasa pada tahun-tahun mendatang.

Tumbur Parlindungan, Praktisi Migas yang juga mantan Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA), mengungkapkan untuk bisa melanjutkan pengembangan Blok Masela saat ini proses yang harus dilalui adalah Final Investment Decision (FID) atau adanya kepastian pendanaan proyek yang diperkirakan membutuhkan investasi mencapai US$20 miliar. Dengan kebutuhan investasi sebesar itu maka satu syarat utama agar FID bisa dilalui adalah adanya kontrak jual beli gas jangka panjang.

Namun yang jadi permasalahan adalah saat ini cukup sulit untuk mendapatkan konsumen gas yang mau mengikat perjanjian kontrak jual beli dalam waktu lama atau kontrak jangka panjang (long term contract).

Menurut Tumbur, pasokan gas dunia saat ini dalam kondisi kelebihan suplai. Ini tentu dilatarbelakangi oleh beberapa faktor mulai dari menurunnya permintaan hingga adanya pesaing utama dari gas yakni shale gas di Amerika Serikat yang memiliki harga jauh lebih murah dibanding harga LNG.

Di sisi lain proyek Masela menyedot biaya yang tidak sedikit sehingga akibatkan harga gasnya sekitar US$7-9 per MMBTU pun masih tinggi dan sulit bersaing dengan shale gas atau bahkan dengan harga LNG dari sumber lainnya. Inilah yang membuat gas Masela sulit untuk bisa mendapatkan pembeli dengan kontrak jangka panjang sebagai syarat untuk FID.

“Kalau asumsi saya dengan kondisi saat ini menurut asumsi saya 2027 paling cepat FID. menurut saya itu paling cepet. karena gasnya masih over supply sampai 2026. kalau FID 2027 oeprasinya 2030 something,” kata Tumbur saat diskusi bersama media secara virtual, Jumat (24/7).

Shell sendiri saat ini dikabarkan telah berencana untuk melepas Participating Interest (PI) atau hak partisipasi 35% di blok Masela.

Menurut Tumbur, dengan kondisi sekarang Shell juga tidak akan mudah untuk mendapatkan pihak yang mau menanggung investasi besar di Masela.

“Kalau Shell di Masela, yang bisa mengembangkan harus ada big boys, yang beli juga gitu, nggak mungkin company kecil. Beli Masela karena nggak punya capex,” kata Tumbur.

Oleh karena itu, salah satu jalan alternatif peluang bagi Blok Masela untuk mendapatkan pembeli gas dengan kontrak jangka panjang yakni memundurkan target penyelesaian atau jadwal pengembangan sampai kondisi permintaan dan suplai kembali stabil. “Ya mungkin yang pas mundur pengembangannya,” tukas Tumbur.

Menurut Tumbur, dalam kondisi ini pemerintah juga tidak bisa disalahkan, lantaran faktor global lebih berperan. “Bukan semuanya karena pemerintah, tapi kondisi pasar juga,” kata Tumbur.

Pengembangan Blok Masela dikerjakan oleh Inpex Corporation yang bermitra dengan Shell. Sebagai blok gas terbesar yang pernah dikembangkan di Indonesia proyek Masela juga mengalami lika – liku.

Pada September 2015, Inpex mengajukan revisi rencana pengembangan atau Plan of Dvelopment (PoD) yang isinya terdapat peningkatan kapasitas produksi lebih besar dari 7,5 metrik ton per annum (MTPA) LNG. Kemelut sempat terjadi karena ada usulan untuk mengubah skema pengembangan dari semula dilakukan melalui pengembangan di laut menjadi di darat.

Pemerintah pun akhirnya memutuskan skema pengembangan Blok Masela harus membangun fasilitas di darat. Artinya, Inpex harus kembali mengubah perencanaan pembangunan fasilitas pengembangan. Inpex menyanggupi permintaan perubahan skema tersebut, namun dengan catatan kapasitas LNG meningkat menjadi 9,5 MTPA. Jumlah tersebut dinilai lebih sesuai dengan nilai keekonomian yang diharapkan Inpex.

Pemerintah akhirnya memberikan persetujuan kepada Inpex untuk melakukan kajian pembangunan fasilitas dengan kapasitas 9,5 MTPA LNG dan 150 juta kaki kubik per hari (mmscfd)gas pipa. Padahal sebelumnya pemerintah bersikeras agar LNG yang diproduksikan sebesar 7,5 MTPA dan gas pipa sebesar 474 mmscfd. Proyek yang diperkirakan menghabiskan biaya investasi mencapai US$20 miliar tersebut ditargetkan bisa mulai memproduksi gas pada 2027-2028.(RI)