JAKARTA – Badan pelaksana kegiatan hulu migas berwujud Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dinilai tidak memiliki kekuatan untuk merespon perkembangan industri migas yang terjadi.

Muhammad Arfan, Ketua Serikat Pekerja SKK Migas, mengungkapkan sebagai badan pelaksana, SKK Migas tidak memiliki fleksibilitas yang dibutuhkan. Ini menjadi masalah besar yang sedang terjadi. Bahkan untuk masalah di level pekerja saja dibutuhkan persetujuan menteri.

“Aturan terlalu kaku level pekerja diatur menteri, organisasi menjadi core semua kegiatan. Saat ini dari 700 pekerja SKK Migas, 110 orang stuck lebih dari 6 tahun,” kata Arfan disela diskusi virtual tentang Analisis Regulasi dan Kelembagaan Hulu Migas yang digelar secara virtual, Jumat (13/11).

SKK Migas lanjut Arfan terancam tidak bisa berlari untuk mengejar target-target yang tengah dicanangkan pemerintah jika kondisi ini terus berlangsung. Masalah yang dihadapi sekarang sangat nyata dimana adaptasi organisasi sangat tidak fleksibel. “Sementara kondisi yang kami alami membutuhkan kecepatan adaptasi,” ungkap dia.

Menurut Arfan, sebagai badan pelaksana yang berhubungan langsung dengan pelaku usaha seharusnya ada kekuatan dalam hal fleksibilitas. Harapan akan adanya perubahan sebenarnya sudah ada ketika pemerintah menyusun Undang-Undang Cipta Kerja. Sayangnya dalam UU Cipta Kerja ini tidak menyentuh adanya perubahan kelembagaan SKK Migas.

Dia pun mewanti-wanti jika badan baru akan dibentuk melalui UU Migas yang akan disusun maka fleksibilitas tersebut harus diberikan.

“Badan baru harus diberikan fleksibilitas, kapan bentuknya apapun badan usaha mandiri UU Ombnibus Law kesempatan yang terlewatkan,” ujarnya.

Arfan mengatakan pembentukan badan usaha membutuhkan revisi UU Migas, dan ini sebenarnya sudah diamanatkan sejak 2012. Serikat pekerja SKK Migas menegaskan bahwa adaptasi organisasi yang dibutuhkan yang sangat tidak fleksibel menjadi harga mati. Pasalnya kondisi bisnis yang dihadapi business to business.

“Kami melihat berbagai banyak perusahaan yang alami kebangkrutan bisnis migas sehingga membutuhkan kecepatan adaptasi,” ungkap Arfan.

Fatar Yani Abdurrahman, Wakil Kepala SKK Migas, menuturkan badan yang dipimpinnya tidak memiliki dasar hukum kelembagaan yang kuat pasca pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) oleh Mahkamah Konstitusi. Dasar hukum pembentukan SKK Migas hanya melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

SKK Migas sebenarnya terbuka dengan adanya fleksibilitas, termasuk pemberian insentif fiskal. SKK Migas saat ini tidak independen sebagai lembaga lantaran berada di bawah pengawasan Kementerian ESDM. Padahal, SKK Migas perlu kekuatan hukum agar bisa membuat kebijakan yang pasti bagi industri hulu migas.

Kepastian hukum yang dinanti SKK Migas selevel UU hanya RUU Migas. Dia berharap, DPR segera menyelesaikan RUU Migas yang sudah digantung sejak 2012 lalu.

“Nah di sinilah perlu payung hukum agar ada kebijakan fiskal yang pasti. Ini yang bakal mendorong investor tertarik,” kata Fatar Yani.(RI)