JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan tidak akan memperpanjang kontrak ekspor gas ke Singapura dari Blok Corridor yang akan habis pada 2023.

Arifin Tasrif, Menteri ESDM, mengatakan ke depan penyerapan gas untuk kebutuhan domestik akan meningkat, sehingga dibutuhkan kepastian pasokan gas. Salah satu manfaat utama gas untuk domestik   adalah untuk pembangkit listrik, sehingga bisa ikut membantu meningkatkan rasio elektrifikasi.

“Kuncinya untuk bisa mendapatkan rasio elektrifikasi adalah transmisi, harus sempurna ujung Sumatera sampai ujung Jawa, Trans Kalimantan dan daerah lainnya membutuhkan investasi cukup besar. Kami merencanakan transmisi energi bukan listrik tapi gas. Gas masih banyak, Sumetara suplai ke Singapura berakhir 2023, akan kami tarik ke dalam negeri,” kata Arifin disela rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Rabu (27/11).

Menurut Arifin, beberapa potensi pembeli baru gas dari dalam negeri sedang di data. Nantinya gas Corridor akan bisa disalurkan hingga ke Pulau Jawa dengan transmisi gas yang sudah tersambung di Sumatera dan Pulau Jawa.

Arifin cukup optimis dengan pasokan dan pemanfaatan gas ke depannya. Apalagi ada Blok Sakakemang yang bisa menambah kapasitas produksi gas nasional cukup besar. Kemudian pada 2021 nanti gas dari lapangan Jambaran Tiung Biru (JTB)  juga sudah bisa diproduksikan.

“Jadi kami bisa sambung pipa Belawan – Aceh. Sumatera-Jawa tersambung. baru nanti Cirebon – Gresik. Ada pasokan gasnya ConocoPhillips (Corridor), Sakakemang dan JTB jadi ini bisa tersambung,” ungkap Arifin.

Gas memang diproyeksi menjadi energi alternatif untuk menurunkan impor LPG. Penggunaan gas untuk Jaringan Gas Rumah Tangga (Jargas) akan diintensifkan di Kalimantan.

Tidak hanya berasal dari beberapa sumber gas eksisting seperti blok Mahakam, Kalimantan Timur tapi potensi juga masih dimiliki yakni blok East Natuna.

Menurut Arifin, dengan penerapan teknologi yang tepat gas di Natuna bisa dimonetisasi. Pekerjaan rumah besarnya adalah dengan mencari teknologi yang tepat sesuai dengan keekonomian dalam rangka mengolah kandungan CO2 yang terlampau tinggi di sana.

“Potensi Natuna D alfa sangat besar, bisa ditarik dari Pontianak ke bawah, ini mungkin masih mahal karena CO2 mencapai 70%. Tapi mereka di negara Skandinavia bisa di-inject lagi dan tidak menimbulkan pencemaran. Jadi biaya saja yang perlu kami consider,” kata  Arifin.(RI)