JAKARTA – PT Bukit Asam Tbk (PTBA), bagian dari holding tambang Mineral Industry Indonesia (MIND ID) pada semester I 2020 mencatatkan laba bersih sebesar Rp1,3 triliun atau anjlok 35,64% dibanding periode yang sama 2019 sebesar Rp2,02 triliun.

Arviyan Arifin, Direktur Utama Bukit Asam,  mengatakan penurunan laba bersih dipengaruhi pandemi Covid-19 yang membuat harga komoditas dan permintaan batu bara menurun dari Januari hingga Juni 2020.

“Kalau kita bandingkan dengan tahun lalu, kinerja ini sedikit lebih rendah. Ini karena dampak pandemi Covid yang kami rasakan sejak Maret hingga hari ini,” kata Arviyan dalam konferensi pers virtual, Rabu (30/9).

Laporan keuangan Bukit Asam mencatat, pendapatan semester I tahun ini juga merosot dibanding periode yang sama tahun lalu dari Rp10,6 triliun menjadi Rp9,01 triliun.

Arviyan mengatakan, selama pandemi permintaan konsumen yang didominasi dari PT PLN (Persero) mengalami penurunan. Konsumsi listrik di wilayah besar Indonesia,  seperti Jakarta, Banten, Jawa dan Bali juga berdampak pada penyerapan batu bara domestik.

Begitu juga dengan permintaan dari negara-negara tujuan ekspor ikut turun akibat diberlakukannya lockdown di beberapa
negara tujuan ekspor, seperti China dan India.

“Kami perhatikan baik permintaan dalam negeri dan ekspor mengalami penurunan yang luar biasa. Ini tidak lepas dari penggunaan batu bara dari negara-negara dan PLN sendiri,” ungkap Arviyan.

Untuk harga batu bara, secara rata-rata sepanjang enam bulan pertama tahun ini merosot lebih dari 20%. Harga batu bara acuan (HBA) turun dari US$65,93 per ton Januari 2020 menjadi US$52,98 per ton.

“Ini tentunya secara tidak langsung berdampak pada kinerja keuangan kita dimana laba kita alhamdulillah masih bisa mencapai Rp1,3 triliun,” kata Arviyan.

Menurut Arviyan, laba bersih perseroan diraih berkat efisiensi seperti menurunkan biaya operasional, menurunkan harga pokok produksi (HPP), dan menurunkan biaya usaha.

Pada laporan keuangan biaya pokok pendapatan mengalami penurunan dari Rp6,9 triliun pada semester I 2019 menjadi Rp6,4 triliun. Kemudian, biaya penjualan dan pemasaran dari Rp389,2 miliar menjadi Rp341,84 miliar.

“Biaya biaya yang memang tidak begitu berpengaruh pada usaha dan produksi itu kita hentikan. Ini kita lakukan,” kata Arviyan.

Untuk aset perusahaan, per Juni
2020 tercatat berada di angka Rp 26,9 triliun, dengan komposisi kas dan setara kas sebesar Rp 8,6 triliun atau 32% dari total aset.(RI)