JAKARTA – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya buka suara terkait adanya perusahaan lain selain Freeport Indonesia dan Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) yang mendapatkan izin ekspor mineral hingga tahun depan.

Ketiga perusahaan itu adalah PT Sebuku Iron Lateritic Ores, PT Kapuas Prima Citra, dan PT Kobar Lamandau Mineral.

Arifin Tasrif, Menteri ESDM, menegaskan sama seperti Freeport dan Amman ketiga perusahaan itu sudah bisa membuktikan adanya pembangunan smelter yang cukup untuk bisa memenuhi syarat mendapatkan perpanjangan izin ekspor.

Untuk PT Sebuku dengan komoditas beso sejauh ini progres pembangunan smelter sudah mencapai 89,79%. Untuk smelter timbal PT Kapuas Prima Citra sudah status pembangunan smelter sudah rampunug dan baru saja masuk tahap commisioning. Selanjutnya PT Kobar Lamandau Mineral statusnya 89,65% pada Februari lalu dengan komoditas seng.

“Berdasarkan verifikasi daripada verifikator independen sebanyak 5 badan usaha telah memiliki kemajuan pembangunan fasilitas pemurnian konsetrat mineral logam di atas 50%. Sejumlah perusahaan itu yaitu PTFI, AMNT untuk komoditas tembaga, kemudian PT Sebuku Iron Lateritic Ores untuk komoditas besi, PT Kapuas Prima Citra untuk komoditas timbal, dan PT Kobar Lamandau Mineral untuk komoditas seng,” jelas Arifin di Jakarta (24/5).

Namun demikian para perusahaan tersebut masih tetap dikenakan sanksi akibat tidak memenuhi target sebelumnya yakni menyelesaikan smelter pada tahun ini.

Sesuai dengan Kepmen nomor 89 Tahun 2023 tentang pedoman pengenaan denda administrasi keterlambatan pembangunan fasilitas pemurnian mineral logam dalam negeri, penambah waktu ekspor tetap dijalankan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan mengenakan sanksi pada badan usaha yaitu berupa penempatan jaminan kesungguhan sebesar 5% dari total penjualan periode 2019-2022.

Apabila pada 10 juni 2024 tidak mencapai 90% dari target maka jaminan kesungguhan disetorkan pada kas negara.

Selanjutnya adalah pengenaaan denda administrasi atas keterlambatan pembangunan 20% dari nilai kumulatif penjualan ke luar negeri untuk setiap periode keterlambatan dengan mempertimbangkan dampak pandemi covid 19. (RI)