JAKARTA – Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas‎ yang terus tertunda dikhawatirkan akan berdampak pada percepatan pemulihan industri migas nasional.

Bobby Gafur Umar, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Energi dan Migas, mengatakan harga minyak memang sudah menunjukkan tren kenaikan ke kisaran harga US$45-US$50 per barel. Namun tidak mudah bagi sektor industri migas untuk menjadikan kondisi ini sebagai momentum untuk membalikkan keadaan.

“Tantangan terbesar yang dihadapi industri hulu migas, justru berasal dari ketidakpastian politik dan ketidakpastian kebijakan serta regulasi,,” kata Bobby dalam Rakernas Kadin Bidang Energi dan Migas di Jakarta, Selasa (1/11).

Menurut dia, investasi baru dan pengembangan hulu migas menjadi salah satu faktor yang menentukan pemulihan ke depannya. Perbaikan harga minyak dunia tidak cukup karena diperlukan motor penggerak lainnya untuk memulihkan dan menggerakkan industri ini.

“Investasi jelas membutuhkan kepastian regulasi, Iklim investasi yang baik akan berdampak pada pemulihan tersebut karena iklim investasi dan regulasi yang established pasti juga akan berdampak pada kemampuan perusahaan-perusahaan migas untuk meningkatkan belanja modal mereka,” kata Bobby.

Bobby menambahkan regulasi yang terkait pada industri migas akan menjadi salah satu faktor kunci yang menentukan di masa depan. UU migas dibutuhkan sebagai payung hukum yang akan menjadi acuan dan panduan bagi industri untuk memutuskan berbagai hal yang strategis.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan konsep revisi UU migas yang tengah dibahas diharapkan tidak keluar dari koridor yang sebelumnya sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Peran negara menjadi mutlak untuk diinvestasikan ke depan.

“Harus ada kebijakan porsi pemerintah dan porsi kewenangan unit usaha negara dalam mengeksekusi kuasa menambang. Jangan ada upaya menerjemahkan secara lain apa yang digariskan MK,”tandas Arcandra.(RI)