JAKARTA – PT Freeport Indonesia (PTFI) menargetkan bisa meningkatkan penggunaan bahan bakar rendah emisi pada kegiatan tambang tembaganya di Papua. Manajemen berencana mulai menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) pada tahun depan.

Tony Wenas, Presiden Direktur PTFI menjelasakan, PLTMG tersebut ditargetkan bisa mulai beroperasi pada tahun depan dengan kapasitas mencapai 168 Megawatt (MW). Penggunaan PLTMG ini sesuai dengan target perusahaan untuk ambil bagian menurunkan emisi.

“PTFI berkomitmen untuk mengurangi intensitas emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 30% di tahun 2030. Pada tahun 2021, pengurangan emisi GRK pada kegiatan operasi kami mencapai 22% (dibandingkan 2018). Sebagian besar dikarenakan transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah, dimana kami menggunakan sistem kereta listrik otomatis bawah tanah,” ujar Tony dilansir dalam keterangan resmi Kementerian ESDM, Selasa (12/12).

Manajemen PTFI sebelumnya diketahui tengah mencari pasokan gas berupa Liquified Natural Gas (LNG) yang akan digunakan untuk mengganti bahan bakar fosil lainnya.

Tony pernah mengungkapkan beberapa lokasi PTFI masih menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) lantaran berlokasi di wilayah terpencil. “Ada beberapa daerah yang remote masih gunakan PLTD, itu gunakan LNG rencananya,” ungkap Tony belum lama ini di Jakarta.

Bahkan manajemen sampai membentuk divisi khusus yang tugasnya adalah menyusun strategi agar target penurunan emisi bisa tercapai.

“Business plan sampai 2041, kami ada divisi khusus, untuk kurangi emisi karbon, dengan cari jalan, seperti program elektrifikasi, pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, konversi, termasuk PLTD, kecil-kecil (kapasitasnya),” kata dia.

Komitmen PTFI ini sesuai dengan dorongan pemerintah yang meminta seluruh elemen masyarakat termasuk perusahaan di sektor energi menggenjot upaya penurunan emisi.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), meminta PTFI mulai menggunakan energi bersih dalam mendukung kegiatan usaha pertambangan. Hal ini sebagai bentuk adaptasi terhadap tren masyarakat dunia yang bergeser ke arah energi bersih.

Menurut dia sekarang ini negara-negara dunia sudah mulai mengangkat isu carbon mechanism cross border. Jadi kalau barang-barang yang cross border itu basic industrinya mempunyai carbon content yang tinggi, maka akan dikenakan pajak.

“Singapura sudah mulai dengan USD5 dan diperkirakan tax-nya di tahun 2050 itu sebesar US$50,” kata Arifin.

Kebijakan negara – negara tersebut, menurut Arifin, harus segera diantisipasi perusahaan-perusahaan di Indonesia khsusunya PTFI agar tidak dirugikan dengan pengenaan pajak tinggi terhadap produk yang dihasilkan karena memiliki konten karbon tinggi dari produknya.

“Makanya saya bilang ke Tony (Presiden Direktur PTFI) energi yang dipakai untuk mendukung ini (pertambangan di PTFI) harus segera dipikirkan untuk menggunakan energi bersih,” ujar Arifin. (RI)