JAKARTA – Pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Grade Alumina Refinery (SGAR) milik PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dan PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Mempawah, Kalimantan Barat terus mengalami hambatan yang berasal dari para konsorsium yang mendapatkan mandat untuk membangun fasilitas yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut.

Target penyelesaian smelter sendiri molor lebih dari satu tahun sehingga mengakibatkan adanya potensi pendapatan yang hilang cukup besar. Pelaksana proyek sendiri dilakukan oleh PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) yang merupakan anak usaha MIND ID dan Antam.

Darwin Saleh Siregar, Direktur Teknik dan Proyek BAI, mengungkapkan setelah dilakukan kajian terungkap proyek ini akan terlambat sekitar 16 bulan dimana seharusnya bisa selesai pada kuartal III-2023 menjadi menjadi sekitar Februari 2025. “Kami hitung potential revenues loss US$450 juta atau US$28 juta per bulan,” ungkap Darwin saat rapat dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (20/9).

Biang kerok keterlambatan pembangunan smelter masih sama yakni perselisihan antara anggota konsorsium proyek yakni China Alumunium International Engineering Co.Ltd (Chalieco) dan PT Pembangunan Perumahan (PP) Tbk. Masalah utamanya adalah dispute internal konsorsium terkait perbedaan dalam biaya pengerjaan penyiapan lahan sehingga procurement jadi sangat terlambat untuk direalisasikan.

Perselisihan internal yang terjadi terkait dengan total pengerjaan 174 item yang jadi tanggung jawab PTPP dengan nilai Rp457 miliar. Tapi, item tersebut tidak diakui oleh Chalieco dan masuk dalam item lumpsum namun nilainya tidak ditambahkan. Padahal, menurut PTPP jika dikerjakan saja nilainya sudah membengkak menjadi Rp1,39 triliun. Salah satunya adalah opsi perubahan division of responsibility.

Ini berkaitan dengan isu kedua yakni kondisi tanah lunak di lokasi red mud stockyard. Red mud adalah limbah sisa dari produk refinery alumina. Lokasi tersebut harus dipindahkan agar biaya yang dikeluarkan sesuai dengan anggaran.

Pihak PTPP sudah meminta kepada pihak Chalieco untuk memberikan dana sebesar Rp457 miliar sehingga relokasi lahan bisa dieksekusi tanpa harus biaya menjadi membengkak.

Danny Praditya Direktur Operasi dan Portofolio Inalum, mengungkapkan sebagai induk dan pemilik smelter, Inalum telah aktif meminta para pihak yang berselisih untuk terus berkoordinasi guna mendapatkan jalan keluar. Menurut dia, dengan adanya keterlambatan ini maka kemungkinan besar kontrak proyek akan diterminasi dan akan diperbaharui dengan kontrak baru sesuai dengan target penyelesaian yang akan disepakati.

“Secara intensif ada pertemuan dua minggu sekali antara BAI dan konsorsium kontraktor dan progress yang masih belum terlaksana target penyelesaian yang belum ter-deliver maka kami siapkan proses remedial yang akan dilakukan dalam kontrak ini,” ungkap Danny.

Kebijakan tersebut hampir pasti akan diambil lantaran realisasi pengerjaan proyek hingga Agustus saja sangat jauh dari target yang sudah dipatok. “Karena masih belum ada progres yang signifikan maka di Agustus BAI melakukan kajian terminasi, belum ada progres yang signifikan dari target 83% sampai Agustus baru 14,42% final agreement belum disepakati,” kata Danny. (RI)