JAKARTA – Komoditas tambang tembaga di Indonesia diyakini akan surplus mulai 2028. Hal ini disebabkan belum maksimalnya penyerapan tembaga nasional sehingga hasil produksi katoda tembaga di dalam negeri dimungkinkan untuk diekspor, selain diserap oleh industri lokal.

Rachmat Makassau, Direktur Utama PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), mengatakan mulai 2025 produksi katoda tembaga nasional pada 2025 mencapai 1,2 juta ton. Padahal kebutuhan dalam negeri hanya sekitar 25-30%.

“Tidak ada lagi masalah suplai dan demand di Indonesia, bisa untuk peluang kembangkan industri nikel dan tembaga. Tembaga kita surplus,” ujar Rachmat, dalam acara diskusi E2S Awards 2022 dan Outlook Sektor ESDM 2023 bertajuk ‘CEO’S New Vision; Business Reform to Shape The Energy Transition’ yang diselenggarakan di Bimasena Club Jakarta, Selasa (13/12).

Selain Rachmat, hadir sebagai narasumber Direktur Eksplorasi PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Muharram Jaya Panguriseng, Direktur Pembangkitan PT PLN (Persero) Adi Laksmono, dan Vice President Pengembangan Hilir PT Bukit Asam Tbk Setiadi Wicaksono.

Rachmat mengatakan produksi katoda tembaga pada 2025 berasal dari tiga pabrik pengolahan (smelter) tembaga domestik, yaitu PTS-Gresik, Amman Mineral Nusatenggara yang akan efektif beroperasi pada 2024, dan smelter PT Freeport Indonesia. “Produksi tinggi, tapi permintaan katoda tembaga dari Indonesia baru akan mencapai 300 ribu ton,” katanya.

Rachmat mengatakan kondisi ini menjadi isu cukup besar karena 70% produksi tembaga nasional akan diekspor dan dinikmati negara lain. Hal ini juga bisa menjadi peluang bagi siapapun (industri dalam negeri) yang masuk di dalam industri tembaga.

“Peningkatan tembaga di dunia 3-4% per tahun. Kebutuhan tembaga dunia pada 2028-2030 lebih besar dari yang diproduksi tambang. Dengan teknologi yang lebih baik dan jumlah tembaga yang kita miliki, bisa mengisi gap di tahun 2028 ke atas,” ujarnya.

Ketua Indonesia Mining Association (IMA) itu menyatakan ke depan tembaga akan menjadi komoditas yang sangat penting terkait penggunaan kendaraan listrik untuk mendukung transisi energi. Kendaraan listrik dinilai akan menjadi membutuhkan sekitar 3 kali hingga 4 kali lipat tembaga dibandingkan mobil biasa. Tingginya permintaan diharapkan akan membuat potensi tembaga sebagai komoditas yang akan mengalami masuk periode supercycle semakin besar.

“Kebutuhan untuk pemakaian tembaga di masa yang akan datang terutama untuk mengembangkan energi hijau, mobil listrik, pembangkit, dan lainnya sangat dibutuhkan,” katanya.

Amman Mineral Nusatenggara saat ini memasuki fase 7 di Blok Batu Hijau, Sumbawa Barat. Pada 2021, Amman Mineral mulai berproduksi dan akan terus meningkat pada 2022 dengan puncak produksi 2023.

Amman Mineral saat ini mengembangkan proyek smelter tembaga yang berlokasi di Benete. Kemajuan proyek smelter hingga kini hamper 50% dan diproyeksikan akan beroperasi akhir 2024 dengan produksi katoda tembaga 222.000 ton per tahun.

Nilai investasi yang sudah direalisasikan mencapai US$465 juta atau Rp6,97 triliun (dengan asumsi kurs Rp 15.000). Selain memproduksi katoda tembaga, smelter ini juga akan memproduksi 17,8 ton emas, 54,7 ton perak, dan 830.000 ton sulfuric acid.

“Untuk bidang SDGs, hal-hal dari mulai teknologi sampai pelaksanaan operasional di Amman Mineral sudah memperhatikan manfaat dan keberlanjutan perusahaan,” kata Rachmat.

Sementara pada Penganugerahan E2S Award 2022, Rachmat didaulat sebagai Best CEO Mineral Mining Company. Amman Mineral juga meraih penghargaan untuk Kategori Best Public Relation Manager Mineral Mining Company yang diraih Kartika Octaviana, Vice President Corporate Communication Amman Mineral.(RA)