JAKARTA – Realisasi produksi batu bara nasional sepanjang 2019 mencapai 610 juta ton, tertinggi dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi produksi batu bara 2019 juga 24,7% di atas target yang ditetapkan pemerintah sebesar 489 juta ton.

Arifin Tasrif, Menteri ESDM, mengatakan alokasi atau kuota produksi 2019 dibawah 500 juta ton, tapi pelaksananya banyak melebihi alokasi. Sementara itu, penjualan total batu bara di dalam negeri juga masih di bawah target.

“Untuk itu alokasi pada 2020 disesuaikan dengan realisasi di 2019. Kami tidak ingin produksi dilakukan secara besar-besaran karena akan menyebabkan harga jatuh dan bisa merugikan negara. Pendapatannya akan menurun. Kami akan kawal pelaksanaan Domestic Market Obligation (DMO),” kata Arifin dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (9/1).

Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi produksi 2019 tumbuh signifikan dalam lima tahun terakhir. Pada 2014, produksi sebesar 458 juta ton, naik menjadi 461 juta ton pada 2015. Kemudian produksi sempat turun pada 2016 menjadi 456 juta ton. Namun kembali naik menjadi 461 juta ton pada  2017. Pada 2018 realisasi produksi mencapai 557 juta ton atau melonjak 20,8% dibanding tahun sebelumnya.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, mengatakan salah satu penyebab utama melonjaknya produksi batu bara pada 2019 adalah kegiatan dari perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berada di daerah.  ”Iya (tertinggi), selama ini karena banyak IUP yang tidak terkendali,” katanya.

Menurut Bambang, realisasi produksi batu bara 2019 lebih besar karena perusahaaan IUP yang ada di bawah pengawasan provinsi meningkat ke tahap produksi cukup besar hampir 1.000-an lebih perusahaan. Pada tahun ini, pemerintah akan meningkatkan pengawasan terhadap IUP sehingga produksi tidak melebihi target yang dipatok 550 juta ton.

Beberapa cara disiapkan dalam meningkatkan pengawasan yakni dengan mengintegrasikan pencatatan produksi melalui MOMS e-PNBP karena Rencana Kerja Anggaran dan Budget (RKAB) tercatat di Minerba Online Monitoring System (MOMS). ”Sehingga perusahaaan yang jual lebih dari RKAB akan terpotong sendiri,” kata Bambang.

Selain itu juga terjadi peningkatan konsumsi batu bara di dalam negeri. Ini tidak lepas dari sudah rampungnya pembangkit berbahan bakar batu bara yang termasuk dalam program 35 ribu megawatt (MW).

“PLTU berkembang dengan pesat, DMO meningkat juga. Kebetulan HBA ke luar atau ke dalam di bawah US$70 per ton, jadi pasar domestik lebih menarik dibanding pasar luar. kecuali yang kami khawatir kalau harga di atas US$70, dia lebih milih ekspor. Jadi Alhamdulillah aman. Mudah-mudahan DMO akan meningkat sejalan dengan percepatan pembangunan pembangkit,” kata Bambang.(RI)