JAKARTA – Struktur pasar ketenagalistrikan saat ini dinilai sangat bergantung pada PT PLN (Persero). Untuk itu, syarat utama keandalan struktur tersebut adalah PLN harus sehat, baik secara keuangan maupun keandalan pengoperasian.

“Sedikit saja kesehatan PLN terganggu maka keseluruhan sistem ketenagalistrikan di tanah air akan terganggu,” ujar Heru Dewanto, Wakil Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII), dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/9).

Pada 5 September 2018 aliran listrik di sebagian Jawa dan Bali padam karena gangguan pada pembangkit listrik Paiton di Probolinggo, Jawa Timur. Kasus tersebut menunjukkan belum stabilnya sistem ketenagalistrikan di tanah air. Kejadian yang terjadi beberapa kali pada akhir-akhir ini, menimbulkan pertanyaan publik akan kemampuan PLN memenuhi kebutuhan listrik negeri. Perusahaan pelat merah tersebut seolah kewalahan dengan seluruh tanggung jawab yang diemban, yakni melakukan kerja dari hulu hingga hilir.

Mulai dari membangun infrastruktur kelistrikan, mengoperasikan 70% pembangkit listrik dan nyaris 100% jaringan transmisi dan distribusi , menyalurkan kepada pelanggan di seluruh Indonesia. Bahkan, hingga seleksi dan negosiasi tarif listrik dengan produsen listrik swasta atau IPP (Independent Power Producer); semuanya dilakukan PLN sendiri.

Saat ini pelanggan PLN telah mencapai 65 juta rumah tangga dan dipastikan akan terus bertambah ke depannya. Bisa dibayangkan betapa beratnya tantangan PLN untuk tidak hanya terus menyediakan listrik namun juga menjaga kualitas pelayanan.

Menurut Heru, kemajuan teknologi yang sangat pesat mendorong untuk mulai memikirkan peran PLN dan struktur pasar ketenagalistrikan di masa depan. “Kebijakan dan regulasi perlu disiapkan untuk mengantisipasi perubahan besar yang dihasilkan dari revolusi teknologi yang akan berujung pada perubahan bisnis model,” kata Heru.

Data PLN menunjukkan bahwa saat ini masih ada 3.660 desa di kawasan Tertinggal, Terluar, dan Terdepan (3T) yang belum teraliri listrik. Bahkan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, menyebut masih ada 400 ribu-an rumah di daerah 3T yang sama sekali belum teraliri listrik.

Heru mengusulkan pengembangan energi terbarukan secara serius untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Sinar matahari, panas bumi, air, dan bio massa adalah energi terbarukan yang melimpah di negara ini namun belum dimanfaatkan dengan maksimal.
Tantangan teknologi adalah bagaimana agar berbagai energi terbarukan ini menjadi terjangkau harganya. Pemanfaatkan panel surya untuk memenuhi kebutuhan listrik pribadi sekaligus produsen listrik mendorong lahirnya era prosumer.

“Kita tidak bisa sepenuhnya bergantung pada satu lembaga saja untuk mencapai target EBT 23% pada 2025. Diperlukan kolaborasi banyak pihak dengan memanfaatkan kemajuan teknologi,” ungkap Heru.

Di masa depan, dengan semakin murahnya baterai, akan semakin banyak mobil listrik. Dengan semakin murahnya panel surya, masyarakat bisa memilih menjual listrik yang diproduksi melalui jaringan listrik atau dikonsumsi sendiri. Semua energi yang tersedia di konsumen bisa diiklankan lewat internet dan antar konsumen bisa langsung melakukan jual beli. Inilah yang disebut enernet, energy on internet.

Menurut Pekik Argo Dahono, Guru Besar Teknik Elektro ITB, kompleksitas peranan PLN telah menyebabkan inefisiensi kelistrikan di Indonesia. Listrik memang hajat hidup orang banyak. Tapi yang diperlukan apakah listrik dan segala sumber dayanya cukup dikendalikan oleh negara, atau perlu sampai dimiliki sepenuhnya oleh negara.

“Manurut saya negara cukup sebagai pengendali. Tanpa kompetisi, bagaimana kita bisa menjamin PLN melakukan efisiensi?,” ungkap Pekik.

Pekik mengusulkan bahwa regulator aturan kelistrikan dan lembaga pengawas tetap dipegang oleh negara, sementara struktur kelembagaan PLN diberikan dua opsi. PLN bisa menjadi entitas yang menguasai transmisi dan distribusi, sementara produksi diserahkan kepada swasta. Bukan seperti sekarang yang menjadikan PLN terlalu dominan. Alternatif lainnya adalah skema oligopoli, sehingga akan ada PLN I, PLN II dan seterusnya, sama halnya seperti Pelindo ataupun PT Perkebunan Nusantara.

“Kalau kita lihat industri lain yakni telekomunikasi, persaingan lebih fair antara BUMN dengan swasta. Ini karena adanya BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) yang menaungi dan menjadi wasit persaingan antara perusahaan telekomunikasi milik negara dengan swasta. Sudah seharusnya sistem ini diberlakukan ke industri listrik,” tandas Pekik.(RA)