JAKARTA – Sejak 2006, tren perkembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) global yang selama ini menjadi konsumen terbesar industri batu bara dianggap sudah mulai mengalami penurunan. Pemicunya adalah faktor perubahan iklim dan polusi serta keekonomian teknologi alternatif dari energi terbarukan yang sudah semakin kompetitif.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan penurunan permintaan batu bara sebagai respons dari transisi energi, tentu akan berimplikasi kepada keberlanjutan industri batu bara sebagai salah satu komoditas ekspor dan sumber energi untuk pembangkitan listrik.

“Industri batu bara harus mulai segera mengembangkan portofolionya di luar industri ini, jika tidak, berisiko menjadi aset-aset terdampar (stranded assets) akibat dari ketidakekonomisan proyek yang terjadi di tengah-tengah siklusnya,” kata Fabby dalam acara diskusi virtual Selasa (13/10).

Fabby mengatakan, industri batu bara  berpotensi menurunkan, bahkan mengganggu stabilitas perekonomian negara, yang pada akhirnya berdampak pada perekonomian daerah, pekerja, dan masyarakat di sekitar tambang batu bara. Untuk itu, strategi dalam melakukan transisi batu bara nasional untuk meminimalkan implikasi negatif dari penurunan industri ini perlu segera dibangun dan dilakukan.

Dia mengatakan saat ini, eksportir batu bara mulai memadati pasar internasional. Amerika, Rusia, Kolombia, Afrika Selatan misalnya, sedang berlomba menjual batu baranya seiring dengan semakin menurunnya permintaan di Eropa dan potensi penurunan PLTU yang dibangun dan beroperasi, serta adanya pertimbangan terhadap potensi tambang batu bara menjadi stranded asset.

Resesi yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19 dan juga kebijakan green economic recovery di negara-negara tujuan ekspor juga semakin menurunkan jumlah permintaan batu bara Indonesia.
Alhasil, kebijakan dan program pemerintah akhir-akhir ini mulai fokus untuk menaikan tingkat konsumsi batu bara dalam negeri melalui hilirisasi dan membangun PLTU.
Analisis IESR mengindikasikan bahwa hal ini tidak akan cukup untuk menggantikan penurunan permintaan batu bara internasional.

“Kami menyerukan pemerintah, bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait, untuk mulai penyusunan peta jalan transisi batu bara nasional untuk dapat menekan dampak risiko ekonomi dan sosial di masa mendatang,” tandas Fabby.(RA)