JAKARTA – PT Pertamina (Persero) memproyeksikan pendapatan 2020 turun dibanding target awal yang dicanangkan sebelumnya. Hal ini diakibatkan anjloknya harga minyak dunia dan pandemi virus Corona yang memukul bisnis penjualan BBM Pertamina.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, mengatakan pada tahun ini Pertamina mendapatkan tiga pukulan telak. Pertama, harga minyak yang rendah hingga rata-rata hanya mencapai US$30-an per barel.

“Terjadi over supply yang diikuti dengan penurunan demand, sehingga men-drive penurunan harga minyak dunia yang sangat luar biasa. Hampir setengah dari yang kami targetkan di Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) 2020,” kata Nicke disela rapat dengar pendapat virtual dengan komisi VI DPR, Kamis (16/4).

Selain harga minyak yang anjlok, ditambah pandemi virus Corona yang membuat konsumsi energi, termasuk BBM menurun drastis.

Demand di Indonesia dan seluruh dunia ini turun sehingga akan berpengaruh pada pendapatan Pertamina,” ujarnya.

Pukulan berikutnya adalah nilai tukar rupiah yang anjlok terhadap dolar Amerika Serikat. “Dengan harga rupiah hari ini dampaknya besar terhadap perusahaan. Karena kami beli BBM atau crude dengan dolar, tapi jualnya rupiah,” kata Nicke.

Untuk itu Pertamina sudah memperhitungkan adanya perubahan berbagai target kinerja keuangan. Ada dua skenario dalam perubahan target kinerja keuangan Pertamina.

Untuk skenario pertama atau skenario berat dengan asumsi ICP US$38 per barel dan nilai tukar Rp17.000. Skenario kedua atau sangat berat dengan asumsi ICP US$31 per barel dan nilai tukar Rp20.000 per dolar AS. Untuk skenario kedua skenario tersebut potensi penurunan pendapatan berasal dari seluruh lini bisnis Pertamina.

Skenario pertama potensi penurunan pendapatan sektor hulu sebesar 57%, jika dibanding dengan RKAP 2020 atau lebih rendah 43% dibanding pendapatan 2019.

Penurunan pendapatan dari bisnis hilir mencapai 38% dari target RKAP 2020 dan turun 31% dari realisasi 2019. Segmen bisnis subholding gas juga tidak turun 13% dibanding target RKAP 2020 dan turun 1% jika dibanding realisasi pendapatan 2019.

Segmen bisnis keuangan dan jasa,  pendapatan diproyeksi turun 40% dibanding RKAP 2020 dan turun 56% dibandingkan realisasi 2019.

Secara keseluruhan pada skenario pertama  penurunan pendapatan dibandingkan target RKAP 2020 mencapai 38% dan dibanding realisasi 2019 turun mencapai 30%.

Skenario kedua atau sangat berat, pendapatan sektor hulu turun sebesar 59% jika dibanding RKAP 2020 atau lebih rendah 46% dibanding pendapatan 2019.

Penurunan pendapatan dari bisnis hilir diproyeksi mencapai 46% dari target RKAP 2020 dan turun 42% dari realisasi 2019.

Segmen bisnis subholding gas juga tidak ketinggalan mengalami penurunan revenue yakni sebesar 14% dibandingkan dengan target RKAP 2020 dan turun 0,1% jika dibandingkan dengan realisasi revenue 2019.

Pendapatan segmen bisnis keuangan dan jasa diproyeksi turun 47% dibanding RKAP 2020 dan turun 62% dibanding realisasi 2019. Secara keseluruhan pada skenario pertama ini penurunan revenue dibanding target RKAP 2020 mencapai 45% dan dibanding realisasi 2019 turun mencapai 39%.

“Dari simulasi ini kami bisa  melihat dari skenario berat, penurunan pendapatan atau pendapatan jika dibandingkan dengan RKAP itu 38%. Dan untuk  skenario sangat berat penurunan sebesar 45% dibanding  target. Penurunan ICP berdampak sangat besar terhadap bisnis hulu pertamina. Jadi luar biasa di atas 40% penurunan revenue-nya,” kata Nicke.(RI)