JAKARTA – PT Pertamina (Persero) menegaskan kepastian hukum dari pemerintah masih sangat diperlukan demi kelangsungan proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME). Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, menegaskan dalam pengembangan energi baru dukungan penuh dari pemerintah menjadi modal sangat penting bagi investor yang akan terjun dalam proyek gasifikasi ini. Dia meminta ada konsistensi dalam regulasi yang memayungi pengerjaan proyek DME. Kepastian hukum ini bisa sangat berpengaruh terhadap keekonomian proyek.

Case in law, karena ini coal identik energi yang kurang bersih jangan sampai di tengah proyek berjalan ada perubahan regulasi yang membuat proyek ini ada risiko disetop,” kata Nicke dalam webinar Investor Daily summit secara virtual, Rabu (14/7).

Untuk itu, menurut Nicke diperlukan jaminan atau kepastian hukum bagi investor yang akan menginvestasikan dananya di Indonesia. Mengingat investasi yang dibutuhkan untuk proyek ini cukup besar.

Pertamina saat ini tengah memulai pengerjaan proyek DME bekerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk dan Air Product. Kehadiran produk hilirisasi batu bara itu diharapkan nantinya dapat menggantikan LPG yang 70% masih produk impor.

Menurut Nicke, jika proyek ini sukses maka akan ada produksi 5,5 juta DME di tahun 2025 kemudian sehingga ujungnya Indonesia bisa terbebas dari impor LPG. “Jadi tahun 2027 kita bisa mencapai target tidak lagi impor LPG,” ungkap dia.

PTBA, Pertamina, dan Air Products sebelumnya optimistis proyek pengembangan DME batu bara bisa berjalan sesuai rencana untuk mulai beroperasi di kuartal II-2024. Namun belakangan konsorsium sepakat proyek tersebut baru maksimal memproduksi DME pada tahun 2025. Perjanjian Kerja Sama atau Cooperation Agreement antara PTBA, Pertamina, dan Air Products Chemical Inc juga sudah ditandatangani pada 11 Februari 2021.

Selain itu Pertamina kata Nicke masih membutuhkan subsidi untuk menjalankan tugas yang dibebankan negara dalam proyek DME ini pasalnya nanti Pertamin ditugaskan hingga ke pemasaran produk DME yang pastinya harus memiliki harga harga yang bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Hasto Wibowo, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Subholding Commercial and Trading Pertamina, sebelumnya pernah menyatakan jika mau menggantikan LPG maka sangat dibutuhkan kebijakan pemerintah yang mendukung keberadaan DME di pasaran. Salahsatunya adalah jika mau menggunakan DME 100% maka perlu ada penggantian kompor, regulator, dan valve di end customer (konsumen akhir/masyarakat pengguna).

Selain itu jika mau DME sukses mengalahkan peredaran LPG maka harga DME tentu tidak bisa dijual lebih mahal ketimbang harga LPG.

Dia menjelaskan harga DME tidak bisa lepas dari harga LPG yang dikonsumsi masyarakat luas. Harga LPG historical sangat berfluktuasi. Maka harga dari DME tidak boleh lebih mahal dari LPG, kalau lebih mahal maka selama skema harga subsidi masih diberikan maka pementah akan berikan subsidi lebih besar. Saat ini harga DME di plant gate China sekitar US$500 per MT atau setara US$655 MT LPG, masih lebih tinggi dari rata-rata harga LPG saat ini.

“Jadi batas atas tidak boleh lebih mahal dari LPG, batas bawah tidak boleh lebih rendah dari LPG. Dalam menetapkan harga DME sebagai LPG, Pertamina sebagai offtaker akan memperhatikan historical harga LPG,” kata Hasto.(RI)