JAKARTA – PT Pertamina (Persero) mengakui ada sejumlah kendala dalam proses digitalisasi 5.518 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), sehingga belum juga rampung selama hampir dua tahun.

Yanuar Budi Hartanto, Pelaksana tugas Senior Vice President Retail Marketing dan Sales PT Pertamima (Persero), mengatakan  pandemi Covid-19 turut jadi biang keladi penyelesaian digitalisasi sehingga tidak bisa mencapai target rampung pada Juni 2020.

Setiap satu SPBU yang mau didigitalisasi harus melalui beberapa tahapan sebelum full terintegrasi. Pertama, tahapan survei, pekerjaan sipil SPBU, baik itu untuk dispenser ATG, instalasi ATG, IT, integrasi, pengetesan serah terima dari Telkom ke Pertamina.

Yanuar mengungkapkan untuk memasang berbagai alat ataupun pembaharuan fasilitas guna keperluan digitalisasi diperlukan kunjungan langsung ke SPBU, termasuk dalam tahapan survei.

“Target Juni 2020, tapi seperti kita tahu sejak Maret sampai sekarang ada pandemi. Teman-teman akan melakukan install atau integrasi itu harus kunjungan fisik ke lokasi, tapi tiga bulan terakhir ada kesulitan kunjungan. Ini mengakibatkan kemudian target belum tercapai,” kata Yanuar di Jakarta, Rabu (8/7).

Kendala berikutnya adalah terkait kondisi fasilitas serta alat yang dimiliki SPBU. Ia tidak memungkiri tidak semua SPBU Pertamina berumur muda. Oleh karena itu dibutuhkan pembaharuan alat maupun fasilitas perlatan agar bisa disinkronisasikan dengan alat IT yang dipasang.

“Memang ada pekerjaan rumah juga sudah tua-tua untuk penggantian itu ke pengusaha SPBU, dengan alat tua-tua itu tidak bisa integrasi IT, mereka melakukan pemyempurnaan,” ujar Yanuar.

Kebutuhan penggantian ini sendiri selain membutuhkan waktu juga memakan biaya tidak sedikit yang akan ditanggung oleh para pengusaha mitra SPBU Pertamina. Tapi menurut Yanuar jumlah investasi untuk penggantian alat tidak bisa sama rata. Hanya saja jika SPBU berumur tua sudah hampir dipastikan harus mengganti pompa setiap dispenser.

“Kalau pompa itu diganti biayanya sekitar Rp250 juta – Rp 400 juta. Itu pengusaha SPBU biayanya yang tanggung,” kata dia.

Kini baik Pertamina maupun Telkom sama-sama kembali berjanji untuk selesaikan proses digitalisasi SPBU Pertamina dalam beberapa minggu kedepan. “Upayanya akhir Agustus 2020 (selesai). Target Agustus terintegrasi,” tegas Yanuar.

Judi Ahmadi, Enterprise Project Director Digitalisasi SPBU Pertamina PT Telkom Indonesia, mengatakan pada dasarnya Telkom bsrkomitmen untuk selesaikan digitalisasi sesuai target.

Dia menuturkan ada tiga hal besar yang ditemui sebagai rintangan. Pertama tingkat safety SPBU benar-benar khusus sehingga karyawan Telkom di lingkungan SPBU harus menjalankan safety, sehingga butuh waktu ke SPBU.

Kedua, waktu operasi SPBU hampir tidak ada hentinya kalau berhenti 2-3 jam malam hari. Kondisi membuat adanya keterbatasan waktu dalam melakukan pemasangan serta sinkronisasi alat “Ini yang buat kami atur waktu sangat cermat sehingga operasional tidak terganggu,” ungkap Judi.

Ketiga, pandemi selama tiga bulan membuat adanya keterbatasan para petugas di lapangan. Telkom pun optimistis  target terakhir pada Agustus rampung bisa tercapai.

Hingga 30 Juni 2020 realisasi digitalisasi sebanyak 4.819 SPBU atau sebesar 87,33% telah terpasang ATG (Automatic Tank Gauge). Kemudian sejumlah 3.060 SPBU atau sebesar 55,45% telah terpasang EDC LinkAja. Lalu 1.268 SPBU atau sebesar 22,98% telah mencatat nomor polisi melalui EDC. Lalu ada 1.577 SPBU atau sebesar 28,58% telah terdigitalisasi dan memproduksi data yang dapat di akses melalui dashboard yang dikembangkan oleh Pertamina diantaranya berupa data volume penjualan per transaksi, data nilai transaksi penjualan, data transaksi per SPBU.

Sementara itu, Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) menemukan fakta menarik dibalik lambatnya proses digitalisasi. Ahmad Rizal, Komite BPH Migas,  menyatakan proses pemasangan alat oleh Telkom ternyata jadi salah faktor utama digitalisasi berjalan lambat. Ia menjelaskan pihak Telkom melimpahkan pemasangan alat kepada anak usaha yang menggelar jaringan pemasangan alat. Akan tetapi di lapangan yang mengerjakan ternyata berbeda lagi perusahaannya.

“Kami dapatkan mereka yang memasang dengan yang menggelar alat beda (perusahaan). Ini bukan anak usaha yang menggelar. Sehingga dibutuhkan waktu dalam pemasangannya, apalagi kalau butuh alat,” kata Rizal.(RI)