JAKARTA – Indonesia diyakini akan menjadi net importir gas pada 2027 dan net importir batu bara pada 2046. Hal itu akan terjadi apabila tidak ada upaya signiflkan untuk menemukan cadangan baru, mengurangi pola konsumsi gas dan batu bara, mengurangi ekspor, dan terutama meningkatkan secara signiflkan peran energi baru terbarukan (EBT).

Disisi Iain, waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan energi terbarukan lama, misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) butuh 8 -10 tahun, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) butuh 7 – 8 tahun.

“Inilah kondisi kita hari ini. Warning untuk bangsa dan negara jika tidak menyiapkan diri,” kata Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) dalam acara diskusi di Jakarta Selasa (3/3).

Surya menambahkan, kondisi ini diperparah lagi dengan ketergantungan pada impor Bahan Bakar Minyak (BBM) yang lebih dari 50% kebutuhan nasional. Hal ini menunjukkan ketahanan energi Indonesia sangat rapuh.

Berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN), skenario pengembangan EBT pada 2025 mencapai 45.044 megawatt (MW) yang terdiri dari energi panas bumi sebesar 7.242 MW, energi air dan mikrohidro sebesar 20.960, bioenergi 5.532 MW, energi surya 6.379, energi angin 1.807, serta EBT lainnya 3.128.

“Untuk inilah diperlukan strategi yang tepat dengan upaya mempercepat pemanfaatan energi terbarukan terutama yang memiliki waktu pembangunannya yang lebih cepat seperti solar PV. Tetapi tanpa melupakan untuk mempersiapkan juga semua sumber energi terbarukan lainnya,” kata Surya.(RA)