Aktivitas di smelter pengolahan mineral mangan.

JAKARTA – Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) berjanji akan mengawasi pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2013 tentang percepatan peningkatan nilai tambah mineral pertambangan di dalam negeri, agar tidak diplesetkan pada tujuan yang bersifat politis.

Hal ini diungkapkan Ketua Working Group Bidang Kebijakan PERHAPI, Budi Santoso, menjawab pertanyaan Dunia Energi seputar keresahan para pelaku usaha pertambangan mineral, terkait terbitnya Inpres 3/2013 bulan lalu.

Dari penelusuran Dunia Energi, para pelaku usaha pertambangan mineral resah dan khawatir, terbitnya Inpres 3/2013 merupakan salah satu modus partai politik yang berkuasa, untuk mengumpulkan dana guna menyokong pembiayaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.

“Inpres 3/2013 seolah menjadi alat baru bagi kekuasaan untuk memaksa pelaku usaha bernegosiasi dengan birokrasi. Karena dalam Inpres itu tersurat perintah percepatan pembangunan smelter pengolahan mineral hanya dalam waktu satu tahun,” ujar seorang pengusaha tambang kepada Dunia Energi, awal Maret 2013.

Pengusaha tambang lainnya mengatakan, tidak mungkin pihaknya mendirikan smelter pengolahan, hanya dalam waktu satu tahun. Dengan keluarnya Inpres 3/2013, pengusaha seolah dipaksa, dan kalau tidak bisa maka kelangsungan usahanya bakal terancam.

“Ya kita tahulah, kalau bernegosiasi dengan birokrasi di Indonesia, tidak ada yang gratis. Jangan-jangan Inpres 3/2013 ini akan dijadikan “ATM” (sarana mengeruk dana dari pengusaha, red) untuk menyokong biaya politik di Pemilu 2014. Kan di pemerintahan sekarang banyak orang-orang politik,” tutur seorang pengusaha tambang mineral yang beroperasi di Sulawesi.

Budi Santoso membenarkan, tidak mungkin dibangun sebuah smelter pengolahan mineral, hanya dalam waktu satu tahun. Karena untuk studi kelayakan dan pencarian dana investasi saja, setiap smelter membutuhkan waktu hingga lima tahun.

Terlebih, Inpres percepatan peningkatan nilai tambah itu hadir sangat terlambat, hanya sembilan bulan dari batas waktu dilaksanakannya kewajiban nilai tambah, pada 2014. Inpres ini juga hadir tanpa dilandasi kebijakan umum mineral, yang mestinya lebih dulu diterbitkan pemerintah.

“Jadi memang hadirnya Inpres 3/2013 ini cacat konsep. Kami akan kritisi dan awasi betul pelaksanaan Inpres ini, jangan sampai tujuannya diplesetkan seperti yang dikhawatirkan kalangan pelaku usaha,” tegas Budi Santoso di Jakarta, Rabu, 6 Maret 2013.

Kehutanan Tidak Dilibatkan

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum PERHAPI, Achmad Ardianto juga melihat keanehan dalam penyusunan Inpres 3/2013, dimana Kementerian Kehutanan tidak dilibatkan. Semua jajaran Kementerian dilibatkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Badan Usaha Milik Negara dan Menteri Lingkungan Hidup.

Dalam Inpres 3/2013, Presiden juga memberikan instruksi kepada Gubernur dan Walikota serta Bupati, agar mendukung dan membantu pembangunan smelter pengolahan dan pemurnian mineral. Namun menariknya, tidak ada instruksi sama sekali kepada Menteri Kehutanan, sehingga timbul kesan Kementerian Kehutanan tidak dilibatkan dalam program percepatan nilai tambah mineral ini.

“Padahal masalah kehutanan merupakan salah satu hambatan dalam kegiatan pertambangan, mulai dari kegiatan eksplorasi sampai pada pengolahan,” ujarnya. Ia mengaku khawatir, pelaku usaha lagi-lagi harus berhadapan dengan birokrasi yang berbelit, ketika berhadapan dengan persoalan kehutanan.

Untuk itu, ujarnya, PERHAPI mengingatkan agar pemerinah jangan sampai seolah-olah sudah menuntaskan kewajibannya, hanya dengan menerbitkan Inpres 3/2013. “Maka dari itu, kami akan terus menerus mengawal implementasi Inpres ini,” tandasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)