JAKARTA – DPR dinilai belum maksimal dalam menjalankan perannya untuk mereformasi kebijakan di sektor industri ekstraktif. Hal ini dapat dilihat dari belum maksimalnya pencapaian kinerja Komisi VII DPR. Ahmad Hanafi, Indonesian Parliamentary Center, mengatakan berbagai konsep kebijakan reformis seharusnya dituangkan dalam Revisi Undang-Undang (UU) Minyak dan Gas (Migas) dan Revisi UU Mineral dan Batu Bara (Minerba).

“Akan tetapi, hingga sekarang kedua revisi undang-undang tersebut belum selesai. Hal demikian terjadi karena Komisi VII lebih banyak bekerja untuk melaksanakan fungsi pengawasan dibandingkan dengan legislasi,” kata Ahmad dalam acara diskusi di Jakarta, Kamis (28/2).

Reformasi sektor ekstraktif adalah perbaikan tata kelola pertambangan, minyak dan gas dari sektor hulu hingga sektor hilir agar lebih transparan (dapat diakses), lebih partisipatif (melibatkan masyarakat) dan lebih akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan) sehingga menjamin ketersediaan dan pengalokasian hasil ekstraksi untuk kepentingan rakyat.

Menurut Ahmad, pengawasan dan pemantauan publik kurang maksimal karena minimnya informasi dan dokumen yang dipublikasikan oleh Komisi VII. Terutama, dokumen-dokumen yang berkaitan langsung persidangan, seperti laporan singkat dan risalah persidangan.

Selain itu, informasi yang disediakan Komisi VII kurang lengkap. Misalnya, laporan singkat yang tidak mencantumkan kehadiran Anggota Komisi VII dalam rapat.

“Dukungan tenaga keahlian cukup diberikan oleh sekretariat Komisi VII. Ini dapat lebih dimaksimalkan, jika tata kelola dukungan keahlian dikelola dalam sistem yang lebih tertata dan dilaksanakan secara konsisten,” kata Ahmad.

Ahmad menyampaikan beberapa rekomendasi yang perlu diperbaiki dalam kinerja komisi VII antara lain perlunya menyeimbangkan kinerja legislasi pengawasan dan penganggaran, memperkuat komunikasi efektif antara partai-partai pendukung pemerintah dengan partai-partai oposisi untuk mengakselerasi kinerja, membuka ruang partisipasi masyarakat secara proaktif untuk memperkaya materi tentang kebijakan yang sedang dibahas.

“Perlu meningkatkan manajemen sistem pendukung Komisi VII, baik dukungan administratif maupun dukungan keahlian,” tandas Ahmad.(RA)