JAKARTA – Potensi cadanga Migas Non Konvensional (MNK) di tanah air diyakini masih besar dan justru bisa menjadi salah satu cara untuk mencapai target produksi minyak 1 juta barel per hari (BPH). Pemerintah termasuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) juga telah menyadari hal itu sehingga ke depan MNK akan semakin digenjot pengembangannya.

Tumbur Parlindungan, Praktisi Migas sekaligus mantan Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA), menyatakan meskipun potensi besar namun di tanah belumn ada pemain yang berpengalaman untuk mengembangakan MNK. Sehingga diperlukan investor luar yagn sudah memiliki kemampuan untuk mengembangkannya.

Dia pun menyarankan agar blok – blok migas yang saat ini berada dibawah hak pengelolaan Pertamina diberikan kepada pihak yang benar-benar mau dan bisa mengelola serta mengembangkan blok MNK. Menurut Tumbur dengan MNK maka target 1 juta BPH bukanlah sekedar mimpi dan bisa diwujudkan.

“Kita non konvensional bisnis di Indonesia belum jalan, potensinya besar sekali tapi dibutuhkan infrastruktur, ekosistem, tadi blok-blok MNK tolong dikasih ke investor yang mau melakukan non konvesnional, umumnya blok-bloknya di pegang Pertamina dan nggak diapa-apain, nah itu kalau bisa dikasihkan ke pemain yang mau melakukan non konvensional tadi ini 1 juta BPH lebih pun bisa,” kata Tumbur disela diskusi di CNBC TV Indonesia, Rabu (22/12).

Tumbur menegaskan mengembangkan blok MNK demi mencapai target 1 juta BPH hanya tinggal kemauan. Diperlukan perubahan radikal untuk bisa mencapai target tersebut salah satunya memang dengan mengandalkan blok MKN karena kalau hanya konvensional memang cukup sulit. Dia yakin banyak pemain MNK di luar yang berminat untuk berinvestasi di tanah air apalagi kebutuhan migas juga tidak akan surut dalam waktu dekat, bahkan tetap tinggi di tahun-tahun mendatang bahkan tahun 2050 saat Net Zero Emission mulai ditargetkan di berbagai belahan dunia. Hanya saja memang diperlukan berbagai penyesuaian demai meningkatkan iklim investasi yang lebih baik.

“Ini maslah kemauan kita mau atau ngga kalau mau 1 juta BPH. Kita duduk bersama kita buat perubahan radikal, karena ini kebutuhannya terus walaupun net zero, dunia butuh 22 juta barel per hari meskipun ada net zero, indonesia juga butuh minyak,” tegas Tumbur.

Sementara itu Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, mengatakan pihaknya akan memasukkan blok non konvensional di Indonesia untuk turut berkontrbusi dalam pencapaian target 1 juta barel. Sehingga, target nasional ini masih tetap menjadi fokus yang akan tetap dikejar lemabaga di sektor hulu tersebut.

“Jadi 1 juta ini kita tetap posisikan di 2030. Hanya saja sumbernya dari mana ini ada perubahan diperjalanannya. Kita sudah masukkan strategi baru dengan melibatkan migas non konvensional,” kata Dwi dalam Energy Corner CNBC Indonesia, Rabu (22/12).

Dwi menjelaskan, kondisi pandemi Covid-19 yang masih berlangsung saat ini memang telah memukul pencapaian target produksi di sektor hulu migas. Setidaknya terdapat 30 ribu barel per hari minyak susut akibat kondisi tersebut.

Sehingga kehadiran investor untuk mendukung capaian target produksi sangat dibutuhkan. Namun, guna mendukung peningkatan produksi, Dwi memastikan akan terus menggenjot kegiatan pengeboran sumur pengembangan di tahun depan.

Pada 2022 mendatang misalnya, SKK Migas menargetkan pengeboran sumur pengembangan dapat mencapai 900 sumur. Pasalnya, untuk mencapai target 1 juta barel, paling tidak harus ada investasi untuk kegiatan pengeboran 1000 sumur per tahunnya.

“Kemarin kita agak sangat pesimis dengan resource konvensioal lihat minyak non konvensioanal mulai tinggi maka kita juga menjadi optimis,” kata Dwi.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan tiga rencana dalam pengembangan potensi Migas Non Konvensional (MNK). Pertama, revisi atau penghapusan Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2008 dan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2012. Dalam aturan baru nantinya, wilayah kerja (WK) eksisting dapat langsung melakukan eksplorasi maupun eksploitasi MNK tanpa kontrak baru.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi MNK di Indonesia yaitu CBM sekitar 453,30 TCF dan shale gas 574 TCF. MNK mulai dikembangkan di Indonesia tahun 2008 melalui penandatanganan WK Sekayu. Namun perkembangannya belum menggembirakan. Dari 54 kontrak WK Gas Metana Batubara yang ditandatangani mulai 2008-2012, saat ini tersisa 20 WK eksisting. Sedangkan enam kontrak MNK yang ditandatangani 2013-2016, tersisa empat MNK eksisting. Sementara mulai 2017 hingga saat ini, tidak terdapat tanda tangan kontrak blok MNK.