JAKARTA – Tertangkapnya mantan Gubernur Sumatra Selatan Alex Noerdin, dalam kasus jual beli gas yang merugikan negara ratusan miliar rupiah, mengindikasikan bahwa mafia minyak dan gas (Migas) juga bergentayangan di daerah. Sebelumnya ada beberapa bupati dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dijerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus serupa. Barangkali masih banyak penguasa daerah yang belum terungkap dan tertangkap dalam kasus jual-beli gas di daerah.

“Ada dua sasaran yang dimanfaatkan mafia migas dalam pemburuan rente di daerah. Pertama, pemilikan 10 persen Profitability Index (PI) yang diberikan kepada daerah penghasil migas. Kedua, jatah bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dalam menjual migas yang dihasilkan di daerah bersangkutan,” ungkap Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada dan Mantan Anggota Tim Anti Mafia Migas, Minggu (17/10)

Fahmy mengatakan, lantaran tidak punya uang untuk menebus 10 persen PI, Pemda sering kali menggadaikan PI kepada perusahaan swasta, yang sesungguhnya tidak punya uang juga. Dengan PI di tangan Perusahaan Swasta itu mencarikan pinjaman di bank untuk menebus PI. Sedangkan penjualan jatah gas bumi, perusahaan swasta yang ditunjuk menjual kembali ke perusahaan lain, pemilik infrastruktur pipa yang menghubungkan dari sumber gas di daerah dengan konsumen akhir.

Untuk kedua modus itu, kata Fahmy, perusahaan swasta sebenarnya berperan hanya sebagai makelar dengan modal dengkul. Namun perusahaan swasta itu bisa leluasa berburu rente migas di daerah karena memanfaatkan kelemahan tata kelola dan memiliki kedekatan dengan penguasa pengambil keputusan di daerah.

“Mafia pemburu rente migas seolah sudah menjadi coherent system yang mampu mempengaruhi penyusunan peraturan tata kelola migas dan mempunyai kedekatan dengan pengambil keputusan, sehingga sangat sulit untuk dibasmi hingga akar-akarnya,” ujar Fahmy.

Ia menjelaskan, paling tidak ada dua upaya yang dapat dilakukan untuk meminimkan pemburuan rente migas. Pertama, memperbaiki tata kelola dengan sangat transparan, yang siapa pun dapat mengawasi keputusan jual-beli migas. Selain itu, penyusunan peraturan tata kelola tidak bias dengan kepentingan mafia migas dalam pemburuan rente. Kedua, menempatkan pengambil keputusan yang punya integritas dan tidak mempan dari berbagai jenis suap. “Tanpa kedua upaya itu, jangan harap dapat memagari mafia migas dalam berburu rente di daerah,” kata Fahmy.(RA)