JAKARTA – Pemerintah akhirnya mengambil alih blok East Natuna yang sebelumnya sudah ditugaskan kepada PT Pertamina (Persero). Saat ini administrasi untuk melelang kembali blok yang diklaim kaya akan potensi gas itu sudah sedang diproses pemerintah agar tidak lama lagi bisa dilelang ulang.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan potensi gas di Natuna memang besar akan tetapi kandungan CO2-nya juga tinggi sehingga secara teknikal cukup sulit dikembangkan. Itu juga yang membuat Pertamina tidak kunjung mengembangkan blok East Natuna. Ketersediaan teknologi serta biaya tinggi jadi faktornya.

Namun demikian menurut Arifin dengan kemajuan teknologi yang telah ada sekarang banyak perusahaan lain yang memiliki teknologi untuk bisa memanfaatkan tingginya kandungan CO2 di blok East Natuna.

“Kita lagi bahas natuna ini bagaimana ini bisa diberdayakan kembali sekarang kan sudah ada teknologi carbon capture gas Natuna ini kan 70% CO2 nah bisa nggak itu nanti kita tawarkan sehingga gasnya itu bisa diinjeksi,” kata Arifin ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (28/11).

Dia menjamin pemerintah tidak akan terlalu lama untuk meyiapkan berbagai administrasi yang diperlukan karena memang potensi gas yang ada di East Natuna juga sangat diperlukan di era transisi energi.

“Secepatnya (dilelang ulang) kita akan selesaikan administrasinya,” ujar Arifin.

Sebelumnya SKK Migas menyatakan sudah menerima ketertarikan Petronas untuk kembangkan blok East Natuna. Hanya saja memang saat sampaikan ketertarikannya dulu Petronas terlebih harus bernegosiasi dengan Pertamina yang diberikan penugasan pemerintah untuk kembangkan East Natuna. Jika memang diambil alih pemerintah maka Petronas bisa saja langsung mengajukan joint study untuk selanjutnya blok East Natuna diajukan untuk dilelang dalam mekanisme penawaran langsung.

Sudah lebih dari lima tahun memang tidak ada lagi kelanjutan pengembangan blok East Natuna. Hal ini seiring keputusan ExxonMobil dan PTT EP yang sebelumnya merupakan bagian dari konsorsium East Natuna bersama Pertamina dan PTT EP memilih hengkang dan tidak melanjutkan kerja sama.

Blok East Natuna memiliki kandungan gas yang sangat besar, 222 Tcf initial gas-in-place (IGIP) yang membuatnya menjadi undeveloped gas field terbesar di Asia Tenggara. Namun, kandungan gas yang besar tersebut datang dengan tantangan yang juga besar, dimana kandungan CO2-nya sangat tinggi (lebih dari 70%, merupakan single accumulation CO2 terbesar di dunia). Dengan kondisi tersebut, Blok East Natuna diperkirakan memiliki sumberdaya kontingen sebesar 46 Tcf, atau hampir sama dengan total cadangan gas Indonesia (55 Tcf 2P di awal 2020).

Selain kandungan CO2 yang tinggi, tantangan lain dari pengembangan blok East Natuna adalah lokasinya yang terpencil; jarak dari Blok East Natuna ke pulau Natuna mencapai 225 km dan jarak ke Pulau Sumatera mencapai 1.000 km.

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, menuturkan Petronas jadi salah satu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) paling aktif di tanah air. Beberapa proyek yang saat ini dikerjakan Petronas misalnya proyek Ketapang, Kemudian Petronas mampu realisasikan tambahan di Lapangan Bukit Tua. Kemudian baru pengembangan di Blok North Madura, ada lapangan Hidayah. Kemudian Petronas juga ada di Andaman sama Repsol. “Kita juga akan segera dorong kembangkan East Natuna,” ujar Dwi.

Menurut dia teknologi saat ini memang berkembang dengan pesat dan bisa membantu untuk bisa mengembangkan blok East Natuna. Salah satu mangkraknya pengembangan East Natuna adalah ketersediaan teknologi. ExxonMobil yang dulunya mitra Pertamina dan sebagai operator karena memiliki teknologi pisahkan gas yang kandungan CO2-nya sangat tinggi.

Namun kini teknologi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) makin berkembang dan memang jadi salah satu strategi pemerintah untuk menekan emisi dari kegiatan hulu migas. Selain itu tingginya CO2 di lapangan migas dengan adanya CCUS menjadi potensi ekonomi baru.

Petronas kata Dwi juga saat ini tengah menggarap ladang gas yang memiliki kandungan CO2 tinggi.

“Dengan adanya sudah bisa ada CCUS maka sekarang CO2 tinggi sudah ada titik terang untuk menangani. Malaysia sendiri proyek CO2 juga, kandungan CO2 sekitar 70%,” ujar Dwi. (RI)