JAKARTA – Impor masih menjadi andalan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan LPG (Liquefied Petroleum Gas) di dalam negeri yang makin besar. Untuk itu, pemerintah mendorong impor langsung ke produsen, tidak lagi melalui trader.
Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan pemerintah sudah mulai menginisiasi kerja sama perdagangan LPG dengan beberapa negara untuk selanjutnya bisa diteruskan PT Pertamina (Persero) secara business to business.
“Bagus itu (tanpa trader). Saudi Aramco kami minta, Uni Emirat Arab juga. Adnoc kami minta juga. Pemerintah bantu biar lancar itu. kita ke timur tengah kan gitu. Iran juga,” kata Arcandra di Jakarta, Rabu (24/1).
Menurut Arcandra, impor tidak terelakkan karena produksi LPG dalam negeri terbatas karena kandungan gas yang diproduksi dari lapangan migas Indonesia kebanyakan adalah lean gas atau berjenis C1. Padahal untuk membuat LPG diperlukan gas yang memiliki kalori tinggi atau C3 dan C4.
“LPG itu C3-C4 , C1 itu metan yang umumnya discovery lapangan kita itu banyaknya metan C1 itu lean gas. Kalau C3,C4 itu rich gas,” ungkap dia.
Data Pertamina menunjukkan pertumbuhan konsumsi LPG diperkirakan rata-rata sebesar 5% setiap tahun. Akhir 2017, konsumsi LPG PSO atau penugasan yang didistribusikan Pertamina sudah mencapai 6,3 juta metrik ton (MT). Padahal kuota yang diterapkan pemerintah hanya 6,199 juta MT. Pada 2018, konsumsi diperkirakan meningkat menjadi 6,7 juta MT.
Selama ini 60% dari kebutuhan LPG 3kg dipenuhi dari luar negeri dan sisanya diproduksi di dalam negeri. Porsi impor diprediksi akan makin meningkat dengan adanya penemuan potensi gas yang kandungannya juga lean gas.
“Marakesh, Jangkrik, Bangka IDD, Mahakam itu cenderung ke lean gas, sehingga tidak bisa jadi LPG,” ungkap Arcandra.
Salah satu cara yang masih diupayakan untuk bisa tidak tergantung dengan impor adalah dengan membangun jaringan gas (jargas) kota. Apalagi jargas juga bisa menggunakan lean gas atau jenis C1.
Namun tantangan pembangunan jargas adalah kebutuhan investasi yang besar. Selain itu, sumber alokasi gasnya harus dicarikan terlebih dulu karena kebanyakan produksi gas yang ada sekarang sudah berkontrak dan telah memiliki off taker utama dalam jumlah volume besar.
“Jargas bisa metan, makanya kalau jargas banyak C1 digunakan. Kalau jargas masalah pipa dan gasnya dari mana,” kata Arcandra.(RI)
Komentar Terbaru