JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan kebijakan pemerintah saat ini adalah mendorong hilirisasi atau peningkatan nilai tambah batu bara, salah satunya menjadi Dymethil Ether (DME) yang dapat digunakan sebagai substitusi LPG. LPG sendiri merupakan komoditi energi yang lebih dari 70% masih diimpor.

“Konsumsinya perlu disubstitusi untuk mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan dan meningkatkan ketahanan energi nasional,” kata Dadan Kusdiana, Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Senin (7/12).

Dadan menuturkan, dalam rangka mendorong kebijakan hilirisasi batu bara, pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara dapat diberikan perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0%. Hal tersebut, tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Salah satu proyek DME yang sedang berjalan dilakukan oleh konsorsium PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Pertamina dan Air Product, dengan kapasitas input batubara 6 juta ton per tahun untuk dapat memproduksikan 1,4 juta ton DME.

Pada November 2020 lalu terdapat kajian yang dilakukan oleh lembaga think tank yang menyebutkan bahwa proyek DME tidak masuk skala keekonomian dan menyebabkan kerugian tahunan sekitar US$377 juta.

Dadan mengungkapkan berdasarkan hasil kanian dari Tim Kajian Hilirisasi Batubara Balitbang ESDM dari analisis dan konfirmasi antara kajian lembaga think tank dengan Feasibility Study (FS) Bukit Asam, sehingga didapat bahwa proyek DME secara ekonomi layak dijalankan. Perbedaan hasil kajian karena perbedaan asumsi data yang digunakan, metode perhitungan dan pertimbangan multiplier effect dari proyek.

Asumsi harga LPG yang digunakan lembaga think tank tersebut sebesar US$365 per ton yang hanya mencerminkan harga kondisi tahun 2020 saat demand energi rendah di masa pandemi. Sedangkan asumsi harga LPG pada FS Bukit Asam sekitar US$600 per ton mencerminkan harga LPG rata-rata dalam 10 tahun terakhir.

“Perbedaan tersebut sangat berpengaruh terhadap harga jual DME,” tukas Dadan.

Perbedaan lainnya lanjut dia terkait asumsi harga batu bara dan kapasitas input batu bara. Asumsi harga batu bara yang digunakan lembaga think tank sebesar US$37 per ton. Sedangkan FS Bukit Asam sekitar US$21 per ton yang merupakan harga batu bara Bukit Asam kualitas rendah pada saat FS dibuat. Terkait input batu bara terdapat selisih sebesar 500 ribu ton, dimana FS Bukit Asam lebih efisien.

Metode perhitungan yang digunakan lembaga think tank sangat sederhana hanya memperlihatkan perhitungan satu tahun dengan asumsi biaya produksi DME sebesar US$300 per ton yang mengacu pada referensi Plant Lanhua di China.

Sedangkan Bukit Asam telah melakukan Feasibility Study komprehensif dengan asumsi data (sebagaimana tabel) yang menghasilkan keekonomian proyek dengan Net Present Value (NPV) USD350 juta dan Internal Rate of Return (IRR) sekitar 11% sehingga proyek ekonomis dan tidak rugi. “Selain itu FS Bukit Asam juga mempertimbangkan dampak ekonomi lainnya,” ujar Dadan.

Selain keekonomian proyek, setidaknya terdapat enam poin dampak ekonomi dari hilirisasi batu bara untuk DME. Pertama, DME meningkatkan ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan impor LPG. Dengan penggunaan DME, akan menekan impor LPG hingga 1 juta ton LPG per tahun (kapasitas produksi DME 1,4 juta ton per tahun).

Kedua, menghemat cadangan devisa hingga Rp 9,7 triliun per tahun dan menghemat Neraca Perdagangan hingga Rp 5,5 triliun per tahun.

Ketiga, akan menambah investasi asing yang masuk ke Indonesia sebesar US$2,1 miliar (sekitar Rp 30 triliun). Keempat, pemanfaatan sumberdaya batu bara kalori rendah sebesar 180 juta ton selama 30 tahun umur pabrik. Kelima, adanya multiplier effect berupa manfaat langsung yang didapat pemerintah hingga Rp800 miliar per tahun. Keenam, pemberdayaan industri nasional yang melibatkan tenaga lokal dengan penyerapan jumlah tenaga kerja sekitar 10.570 orang pada tahap konstruksi dan 7.976 orang pada tahapan operasi.

Selain itu, dalam mendukung implementasi substitusi LPG ke DME, Lemigas Balitbang ESDM telah melakukan uji coba terkait kompor DME. “Hasil uji coba kami, menunjukkan bahwa efisiensi kompor meningkat dari rata-rata 61,9% dengan penggunaan LPG, menjadi 73,4% apabila menggunakan DME. Sehingga keperluan DME untuk kebutuhan memasak terjadi penurunan, lebih rendah dibandingkan kebutuhan kalori teoritisnya,” kata Dadan.(RI)