JAKARTA – Pemerintah didorong untuk bersiap akan kemungkinan dibukanya keran impor gas untuk memenuhi tingginya permintaan gas untuk industri pemurnian dan pengolahan mineral atau smelter.

Tumbur Parlindungan, Praktisi migas dan juga mantan Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA), mengungkapkan pemerintah harus bersiap dengan berbagai kemungkinan, termasuk gas dari luar negeri apabila memang pasokan dari dalam negeri tidak mencukupi. Persiapan yang harus dilakukan pemerintah adalah dari sisi regulasi.

“Seharusnya memungkinkan untuk impor gas, asalkan di support dengan regulasi karena tidak adanya pasokan dalam negeri. Pasokan dari luar pasti hanya LNG,” kata Tumbur kepada Dunia Energi, Senin (20/2).

Namun demikian pemerintah juga jangan melupakan adanya potensi gas dalam negeri. Sebut saja Indonesia Deepwater Development (IDD) atau proyek migas lait dalam Gendalo – Gehem. Lalu ada proyek Masela, proyek blok Kasuri lapangan Asap Merah Kido (AMK).

Apabila keran impor LNG dibuka pun menurut Tumbur sifatnya sebagai cadangan untuk berjaga-jaga jika memang potensi gas yang ada produksinya tidak tepat waktu.

“Pasokan dalam negeri memungkinkan asalkan project-project yang diprediksi akan berproduksi sesuai dengan rencananya, apabila terjadi kemunduran operasi, gap tadi dapat diisi oleh LNG yang di impor. Regulasi untuk mengimpor LNG setahu saya sih belum ada,” jelas Tumbur.

Sebelumnya, berdasarkan informasi yang diterima Dunia Energi, pelaku usaha rambang mineral khususnya nikel yang akan membangun smelter sampai saat ini masih kesulitan untuk mendapatkan pasokan gas. Paling terlihat adalah Vale Indonesia yang saat ini tengah menggarap proyek nikel Bahadopi dan Pomalaa. Manajemen Vale bahkan tidak keberatan jika harus mengimpor gas karena yang terpenting adalah mendapatkan kepastian pasokan. Pasalnya produk nikel yang dihasilkan kedepan harus memenuhi standar lingkungan. (RI)