JAKARTA – Pemerintah sudah sepatutnya mengevaluasi izin operasional PT. Gunbuster Nickel Industry (GNI) menyusul terjadinya bentrok antarkelompok karyawan, Sabtu (14/1).

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI, mengungkapkan pemerintah jangan sungkan mengambil tindakan tegas kepada PT. GNI karena lalai menjamin keamanan, keselamatan kerja karyawan, sehingga terjadi kebakaran tungku smelter yang menewaskan dua orang pekerja.

Ia menyebutkan Pemerintah jangan menganggap remeh bentrok yang menewaskan dua orang karyawan tersebut. Karena bisa jadi hal tersebut dipicu oleh masalah yang lebih mendasar. Bukan semata-mata karena salah paham antarkelompok pekerja. Apalagi bentrok ini terjadi setelah terjadi insiden kebakaran dan mogok kerja pegawai.

“Pemerintah harus tegas dan adil menyikapi bentrok berdarah ini. Hukum harus ditegakkan agar semua pihak mendapat keadilan sebagaimana mestinya,” kata Mulyanto (16/1).

Karena itu, dia mendesak Pemerintah mencabut Izin operasi smelter PT. GNI, kemudian dilakukan “audit teknologi”, bukan hanya terkait soal K3.

“Yang juga kita khawatirkan adalah pabrik ini mengadopsi sistem teknologi usang; komponen peralatan yang berkualitas rendah; serta manajemen teknologi yang beresiko tinggi dan membahayakan bagi pekerja dan masyarakat,” ujar Mulyanto.

Menurutnya bila hasil investigasi terbukti maka artinya pihak manajemen PT. GNI lalai menjamin keamanan dan keselamatan kerja karyawan. “Karenanya sudah sepatutnya Pemerintah mencabut izin usaha perusahaan tersebut secara permanen,” tegas Mulyanto.

Bentrokan maut itu terjadi antara Warga Negara Asing (WNA) dan juga warga lokal. bentrokan di area smelter tersebut menimbulkan korban meninggal dunia dua orang. Di mana satu orang merupakan WNA dan satu orang lagi adalah warga lokal.

Pada bulan Desember 2022 lalu smelter PT GNI juga dilaporkan meledak dan dilaporkan menewaskan dua karyawan karyawati.

Smelter PT GNI tercatat sebagai Izin Usaha Industri (IUI) bukan Izin Usaha Pertambangan Operasi (IUP OP) khusus pengolahan dan atau pemurnian dibawah pengawasan Kementerian Perindustrian. (RI)