JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan tiga rencana dalam pengembangan potensi Migas Non Konvensional (MNK). Pertama, revisi atau penghapusan Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2008 dan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2012. Dalam aturan baru nantinya, wilayah kerja (WK) eksisting dapat langsung melakukan eksplorasi maupun eksploitasi MNK tanpa kontrak baru. Aturan tersebut juga telah disosialisasikan dengan stakeholder, termasuk IPA pada 17 Maret 2021.

“Revisi aturan ini artinya di WK yang sama, tidak perlu izin baru lagi. Sudah bisa melakukan pengusahaan WK MNK. Ini perubahan yang paling mendasar,” kata Tutuka Ariadji, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Senin (17/5)

Tutuka berharap aturan baru tersebut sudah dapat ditetapkan Menteri ESDM setelah Hari Raya Idul Fitri atau pertengahan Mei 2021. “Dari kami sudah meluncur (diserahkan) ke Sekjen ESDM untuk di proses ke Pak Menteri,” ungkap Tutuka.

Rencana kedua adalah pelaksanaan studi MNK di seluruh WK aktif. SKK Migas diharapkan melakukan inventarisasi WK eksplorasi atau eksploitasi. Studi pada WK tersebut untuk menentukan tingkat potensi MNK. Setelah diketahui potensinya, KKKS dapat langsung melakukan pengeboran produksi.

Rencana ketiga adalah pilot project produksi MNK di WK potensial. Pemerintah menargetkan pilot project MNK dengan aturan baru sudah dapat dilakukan pada tahun ini.

Pilot project harus dilakukan segera. Kalau tahun ini tidak bisa, paling tidak tahun ini sudah harus bisa menentukan lokasi pilot project di mana. Pemborannya di mana,” kata Tutuka.

Menurut Tutuka, ada teknologi yang dapat digunakan untuk pilot project ini yaitu multi-stage fractured horizontal (MSFH). Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan dana komitmen kerja pasti (KKP) atau cost recovery. Estimasi biaya per sumur sekitar US$22 juta.

“Penentuan lokasi pilot project harus dikaji betul karena biayanya sangat mahal. Diharapkan dari pengeboran ini kita bisa memperoleh data yang berguna. Kita akan pakai sebagai proof of concept,” ujar Tutuka.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi MNK di Indonesia yaitu CBM sekitar 453,30 TCF dan shale gas 574 TCF. MNK mulai dikembangkan di Indonesia tahun 2008 melalui penandatanganan WK Sekayu. Namun perkembangannya belum menggembirakan. Dari 54 kontrak WK Gas Metana Batubara yang ditandatangani mulai 2008-2012, saat ini tersisa 20 WK eksisting. Sedangkan enam kontrak MNK yang ditandatangani 2013-2016, tersisa empat MNK eksisting. Sementara mulai 2017 hingga saat ini, tidak terdapat tanda tangan kontrak WK MNK.(RI)