JAKARTA – Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) menyatakan aturan baru tentang harga listrik dari pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) tidak akan optimal tanpa adanya kepastian pembelian listirk oleh PT PLN (Persero).

Prijandaru Effendi, Ketua API menegaskan niatan pemerintah untuk membuat aturan main baru terkait harga listrik EBT cukup baik, namun semua akan kembali ke PLN sebagai offtaker atau satu-satunya pembeli listrik. Pemerintah harus bisa memastikan betul bahwa listrik yang dihasilkan pelaku usaha bisa diserap PLN.

Menurut Prijandaru, dalam usaha panas bumi risiko yang harus ditanggung sangat besar. Ini tidak hanya berhubungan dengan risiko teknis seperti masalah cadangan tapi juga nonteknis yang selama ini ternyata juga menjadi masalah serius.

“Kalau ada risiko, biar itu yang berhubungan dengan resources (cadangan) segala macam pegembang yang ambil. Tapi riikso di luar itu, seperti risiko pembelian segala macam, harusnya di back up oleh keterlibatan pemerintah menggaransi bahwa PLN pasti akan membeli hasil pekerjaan kami dengan harga yang sudah disepakati di depan (lebih dulu),” jelas Prijandaru, Kamis (6/8).

Penambahan kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) terjadi pada tahun lalu yakni sekitar 180 Megawatt (MW) sehingga total menjadi 2.130,6 MW. Sedangkan pada 2020 ditargetkan ada tambahan kapasitas PLTP 140 MW pada akhir tahun nanti. Jumlah pemanfaatan panas bumi untuk pembangkitan listrik itu masih minim. Padahal Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sangat besar, yakni sekitar 25 Gigawat hour (GWh). Namun baru sekitar 8% yang bisa dimanfaatkan.

Dalam peraturan presiden (Perpres) EBT nanti diharapkan memberikan tarif keekonomian yang wajar sesuai dengan risiko yang diambil oleh pengembang. Perpres juga diharapkan bisa memberikan kepastian regulasi dan kepastian bahwa berbagai insentif yang dijanjikan bisa terlaksana.

“Ujung-ujungnya adalah kepastian proyek. Kalau kami dijanjikan mendapatkan insentif A, B, C, kemudian akan menghitung. Bagi pengembang yang penting keekonomian masuk, dan ada kepastian untuk mendapatkan semua yang dijanjikan pemerintah, jadi sifatnya entilement,” kata Prijandaru.

Ida Nuryatin Finahari,  Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM mengungkapkan salah satu insentif yang disiapkan adalah berupa tax holiday dan tax allowance yang kini sedang proses pembahasan di Kementerian Keuangan.

Bentuk insentif lain adalah kompensasi yang akan diberikan pemerintah atas biaya eksplorasi pengembang. Namun kompensasi ini akan diberikan untuk pengembang yang sudah mendapatkan Izin Panas Bumi (IPB) tetapi belum melakukan kontrak jual-beli listrik Power Purchase Agreement (PPA) dengan PLN.

Sebab, harga listrik yang ada di Perpres ini mengacu pada WKP baru yang sudah terlebih dulu dilakukan eksplorasi oleh pemerintah.

“Bagaimana dengan WKP yang sudah kita berikan IPB kepada pengembang, tapi mereka belum ber-PPA dengan PLN? ini lah yang akan diberikan kompensasi biaya eksplorasi, karena mereka akan melakukan eksplorasi sendiri,” kata Ida.(RI)