JAKARTA – Pemerintah berkomitmen akan membayar kompensasi dari penjualan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium ke PT Pertamina (Persero) pada tahun ini.

Dalam dokumen Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) guna mengantisipasi dampak Covid-19 yang diterima Dunia Energi, pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp94,23 triliun untuk pembayaran kompensasi, termasuk di antaranya untuk Pertamina sebesar Rp24,12 triliun pada tahun ini dari total kompensasi yang seharusnya dibayarkan sebesar 48,25 triliun.

Pemerintah berencana membagi pembayaran kompensasi kepada Pertamina dalam dua tahap, yakni tahun ini dan 2021.

Fajriyah Usman, Vice President Corporate Communication Pertamina, mengatakan  pembayaran kompensasi penjualan Premium atau BBM penugasan oleh pemerintah itu, yakni piutang kompensasi sejak 2017. Pembayaran kompensasi diyakini akan memperkuat keuangan Pertamina yang terpukul akibat pandemi Covid-19, sehingga menyebabkan turunnya penjualan BBM dan anjloknya harga minyak mentah dunia.

“Tentunya pembayaran kompensasi atas penugasan tersebut akan sangat membantu cash flow Pertamina yang sangat terdampak secara signifikan saat ini,” kata Fajriyah, Rabu (13/5).

Dia menyatakan bahwa pemerintah rutin membayarkan kompensasi tersebut kepada Pertamina. “iya, setiap tahun dibayar  pemerintah,” kata Fajriyah.

Komponen pendapatan kompensasi ini muncul pertama kali dalam laporan keuangan Pertamina pada 2018 lalu. Mengacu Peraturan Presiden 43/2018, Pertamina bisa memperoleh penggantian jika menjual BBM penugasan dan subsidi pada harga eceran di bawah harga pokok produksi. Penggantian ini diakui sebagai piutang dan pendapatan.

Dalam catatan laporan keuangan Pertamina 2018, tepatnya di pendapatan usaha dari aktivitas operasi lainnya, tercatat adanya penggantian selisih harga BBM ketetapan dan formula sebesar US$3,1 miliar. Penggantian tersebut di luar subsidi BBM yang diterima Pertamina sebesar US$5,6 miliar.

Pada laporan keuangan Pertamina untuk semester pertama 2019, juga disebutkan adanya kekurangan dan/atau pendapatan akibat perbedaan harga BBM penetapan dan harga formula. Namun belum dicantumkan besaran kompensasi tersebut lantaran masih menunggu audit. Hingga kini Pertamina belum mempublikasikan laporan keuangan 2019.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, mengungkapkan sejak awal Maret 2020 permintaan BBM nasional terus menurun. Penjualan rata-rata harian BBM turun hingga 18,07% untuk bensin dan 9,11% untuk solar dibandingkan rata-rata harian di Januari dan Februari tahun ini saat kondisi masih normal.

Penjualan rata-rata harian bensin pada Maret-April ini tercatat hanya 76,65 ribu kiloliter (KL) padahal biasanya bisa mencapai 93,56 ribu KL per hari sementara penjualan bensin hanya 37,55 ribu KL dari normalnya 41,31 ribu KL per hari.

Tidak hanya konsumsi masyarakat, pelanggan industri Pertamina juga turun sekitar 2% menjadi 32,81 ribu KL dibanding rata-rata harian Januari dan Februari sebesar 33,48 ribu KL. Penjualan avtur ke industri penerbangan bahkan anjlok cukup besar, yakni mencapai 48% menjadi 8,14 ribu KL dari rata-rata harian Januari dan Februari 15,7 ribu KL.

Kondisi tersebut memukul keuangan Pertamina. Nicke mengungkapkan, skenario pertama memperkirakan adanya potensi penurunan pendapatan sebesar 38% dari Rencana Kerja dan Anggaran (RKAP) 2020 dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) US$ 38 per barel dan kurs Rp 17.500. Sementara untuk skenario berat asumsi ICP sekitar US$ 31 per barel dan kurs Rp 20.000.

“Untuk skenario sangat berat, kami menghitung ada potensi penurunan (pendapatan) 45% dari RKAP 2020,” ujar Nicke.

Berdasarkan data Pertamina, pada tahun ini, pendapatan perseroan ditargetkan mencapai US$ 58,33 miliar. Mengacu skenario pertama, pendapatan perseroan berpotensi turun US$ 22,17 miliar menjadi US$ 36,16 miliar. Sementara mengacu skenario kedua, potensi penurunan pendapatan bisa mencapai US$ 26,25 miliar sehingga menjadi US$ 32,08 miliar.(RI)