JAKARTA – Pembangunan Rotary Kiln Electric Furnace ( RKEF) yang menghasilkan feronikel berkapasitas 13,500 ton di Halmahera Timur, Maluku Utara oleh PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) senilai Rp3,5 triliun yang sejak 2012 hingga 2021 belum bisa beroperasi karena tidak ada pasokan listrik dinilai tidak masuk akal.

Pasalnya, pemerintah pada 2015 telah menggelontorkan Penempatan Modal Negara ( PMN) sebesar Rp3,5 triliun untuk memperlancar pembangunan smelter RKEF tersebut bisa cepat beroperasi. Melalui PMN program hilirisasi mineral diharapkan bisa berjalan cepat untuk memberikan nilai tambah produk nikel supaya bisa memberikan tambahan pemasukan devisa bagi negara.

Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), mengatakan lazimnya untuk membangun smelter sejenis hanya butuh waktu paling lama tiga tahun, terhitung mulai konstruksi hingga commisioning.

“Ini akan menjadi preseden buruk dari sebuah BUMN yang 35% sahamnya dimilik publik. Kesalahan fatal ini bisa terjadi akibat salah kelola oleh manajemen proyek Antam dibawah tanggung jawab direksi yang salah memilih kontraktor EPC pembangunan smelter dan pembangkit listriknya. Akibatnya sudah pasti negara sangat dirugikan dari sisi investasi dan lolosnya bahan baku nikel yang terpaksa harus di ekspor ke luar negeri,” ujar Yusri, Kamis (15/4).

Menurut Yusri, dana besar telah digelontorkan pemerintah tidak bisa segera memberikan nilai tambah, meskipun bangunan smelter sudah mencapai kemajuan 98% pada Agustus 2020, tetapi sampai hari ini tidak bisa beroperasi (commisioning) akibat tidak ada pasokan listriknya.

Dia menambahkan, jika merujuk Undang-Undang (UU) Minerba Nomor 4 Tahun 2009 pada Pasal 102 dan 103 serta Pasal 170, secara tegas dikatakan bahwa sejak 2014, semua mineral mentah dilarang untuk di ekspor dan harus diolah di smelter di dalam negeri. Namun semua ketentuan tersebut dilanggar dengan kasat mata.

Yusri menekankan sejak saat itu pihaknya telah melayangkan protes kebijakan Ditjen Minerba Kementerian ESDM membuat kebijakan relaksasi ekspor mineral mentah hanya berpayung hukum PP Nomor 1 Tahun 2017 dengan turunan Permen ESDM Nomor 5 dan Nomor 6 Tahun 2017 yang bertentangan dengan UU Minerba.

“Antam telah mendapat kouta paling besar untuk ekspor, mungkin saja karena Dirjen Minerba saat itu Bambang Gatot Ariyono duduk sebagai komisaris di PT Antam Tbk sejak 2017,” kata dia.

CERI bersama koalisi Penjaga Sumber Daya Alam pada tahun 2017 telah menggugat Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Peningkatan Nilai Tambah Mineral Logam Melalui Pengolahaan dan Pemurnian ke Makamah Agung (MA).

Yusri mengungkapkan, PT PLN (Persero) sejak 23 Juli 2020 telah mengajukan penawaran ke Antam untuk menjual listrik kebutuhan smelter ini dengan tarif Rp 595, 65 per kilo watt per hour (KWH). Namun, infonya surat tawaran dari PLN tersebut tidak direspon oleh Antam sampai saat ini “Menurut sumber terkini, Antam telah menunjuk konsultan E&Y untuk melakukan tender pemasok listrik,” kata Yusri.(RA)