JAKARTA – Aturan main kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) atau penyaluran batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik diharapkan akan lebih fleksibel dan tidak terikat dalam satu patokan harga maupun volume.

Rosan P Roeslani, Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia, mengatakan dengan fleksibilitas kewajiban tersebut maka semua pihak tidak akan dirugikan, baik PT PLN (Persero) yang membutuhkan batu bara maupun produsen batu bara.

Kewajiban volume penyaluran batu bara ke domestik seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan sebenarnya. Kewajiban 25% dari produksi yang diterapkan saat ini dinilai sudah malampaui kebutuhan PLN.

“Disesuaikan dengan kebutuhan dari PLN sendiri. Sekarang perusahaan batu bara DMO-nya 25%, padahal kalau dipakai DMO 25%, itu melebihi dari kebutuhan PLN,” kata Rosan ditemui di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Jakarta, Senin (30/7).

Berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Nomor 23K/30/MEM/2018, minimal 25% produksi batu bara harus dijual ke PLN. Sedangkan Kepmen ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Batu Bara Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, harga DMO batu bara sektor ketenagalistrikan dipatok maksimal US$70 per ton untuk kalori 6.332 GAR atau mengikuti Harga Batu bara Acuan (HBA),  jika HBA di bawah US$70 per ton.

Menurut Rosan, besaran kewajiban DMO inilah yang masih dalam pengkajian. Besaran penyaluran bagi domestik nantinya bisa saja kurang dari 25% atau bisa lebih.

“Jadi akan disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri. Jadi bisa lebih dari 25% atau bisa kurang dari 25%,” papar Rosan.

Rosan menjelaskan fleksibilitas dalam penerapan kewajiban DMO ini memungkinkan dan wajar dilakukan. Apalagi kebutuhan dari batu bara PLN rata-rata memiliki kalori 4.200-4.500 GAR. Untuk perusahaan yang operasinya bisa untuk kalori 6.000 GAR otomatis tidak dibutuhkan batu baranya. Jika tidak sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan PLN maka produksi batu bara bisa didorong untuk langsung di ekspor. Selain itu ada juga perusahaan yang produksinya di bawah 4.000 GAR.

“Nah itu juga mungkin tidak masuk dalam space PLN. Itu mungkin yang didorong untuk ekspor 100% saja,” kata dia.

Rosan menambahkan harus ada mekanisme baru yang menjamin agar produksi batu bara juga tidak terbuang.

“Jadi ini akan dilihat case by case, jadi sesuai dengan kebutuhan dan dengan kalorinya,” tukasnya.

Rencana penerapan pungutan bagi perusahaan yang melakukan ekspor juga bisa jadi solusi, untuk menutupi harga batu bara, apabila posisi harganya terlalu tinggi dan melebihi asumsi harga batu bara yang ditetapkan PLN.

“Itu juga sedang dikaji, dan juga dilihat dari harga DMO-nya mungkin akan dihilangkan,” kata Rosan.(RI)