JAKARTA – Pemerintah akan mempertegas sanksi terhadap perusahaan yang tidak memenuhi komitmen pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter).  Pelaku usaha tambang melalui petunjuk teknis terbaru oleh Ditjen Mineral dan Batu bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan dikenakan sanksi finansial apabila tidak memenuhi komtimen pembangunan.

Yunus Saifulhak, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba Kementerian ESDM, mengatakan selama ini ada ancaman sanksi, namun belum diatur secara detail. “Sudah ada sanksinya 20% dari penjualan, tapi tata cara pengenaannya baru mau diatur,” kata Yunus di Jakarta, belum lama ini.

Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 menyebutkan pembangunan smelter menjadi salah satu syarat bagi perusahaan untuk mendapatkan rekomendasi ekspor nikel dan bauksit. Progress pembangunan harus mencapai 90% dari rencana per enam bulan. Jika tidak mencapai 90% dari target periode tersebut, maka rekomendasi ekspor akan dicabut dan ada sanksi finansial berupa denda sebesar 20% dari penjualan kumulatif.

Beleid yang sedang disiapkan akan mengatur tentang jaminan kesungguhan pembangunan smelter yang akan diambil dari hasil penjualan dan dikenakan per periode evaluasi atau enam bulan.

“Ini untuk menunjukan komitmen dan jaminan itu balik lagi ke mereka. Misalnya, pembangunan sudah selesai 75% pada 2020, kan dibalikin lagi karena mereka sudah enggak mungkin mundur,” ungkap Yunus.

Dalam Permen ESDM No. 25 Tahun 2018, jaminan kesungguhan tidak diatur secara detail. Beleid hanya menyebutkan jaminan kesungguhan yang telah ditempatkan sebelum aturan tersebut berlaku bisa dicairkan beserta bunganya apabila kemajuan fisik smelter telah mencapai 35%.

Dia berharap regulasi tersebut bisa terbit bulan ini agar bisa segera diterapkan. Saat ini sebenarnya sudah ada dua perusahaan yang kegiatan ekspornya terhenti karena belum melaporkan progress pembangunan  smelternya, tetapi belum bisa dikenakan sanksi finansial.

Perusahaan tersebut diantaranya PT Surya Saga Utama untuk nikel dan PT Lobindo Nusa Persada untuk komoditas bauksit. Kedua perusahaan  belum melaporkan perkembangan pembangunan smelter untuk diverifikasi.

Seluruh perusahaan nikel dan bauksit yang membangun smelter memiliki waktu hingga 11 Januari 2022 untuk melakukan ekspor.

Hingga akhir 2018, dari kuota ekspor 48 juta ton untuk nikel yang terealisasi baru mencapai 22 juta ton atau 48,83%. Untuk bauksit, dari kuota ekspor 26 juta ton yang terealisasi hanya 9,8 juta ton atau 37,69%. Masing-masing perusahaan yang mendapat rekomendasi memiliki kuota ekspor yang disesuaikan dengan kapasitas smelter yang dibangun.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, mengatakan pengenaan jaminan  merupakan bentuk pengawasan pemerintah agar pembangunan  smelter tetap berjalan. Nantinya jaminan akan disimpan di escrow bank.

Aturan teknis ditargetkan akan bisa diterapkan dalam waktu dekat atau dalam semester pertama tahun ini.

“Pengawasan saja, nanti diatur memerika jaminan kesungguhan kan boleh saja, berapa persen dari ekspor dijaminkan, jadi milik Pemerintah kalau tidak sesuai. secepatnya (berlaku), lagi dibahas, sebelum semester 1 (sudah rampung),” tandas Bambang.(RI)