JAKARTA – Kondisi industri migas, baik dunia maupun di Indonesia benar-benar mendapatkan pukulan telak. Selain karena anjloknya harga minyak akibat perang harga, pandemi virus Corona atau Covid-19 menjadi pembeda dalam kondisi kali ini. Pemerintah pun diminta campur tangan  lebih besar untuk bisa menyelamatkan masa depan industri hulu migas nasional.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dari Universitas Trisakti, mengatakan industri hulu migas tidak bisa memandang sebelah mata pandemi Covid-19, karena akan berimbas, cepat atau lambat. Harga minyak  rendah, industri migas mungkin sudah lebih siap menghadapi karena hal itu, karena bukanlah yang pertama terjadi.

“Tapi Covid-19, yang berimbas ke kontraksi atau bahkan bisa krisis perekonomian global, industri hulu migas juga mesti bersiap dan melakukan langkah-langkah antisipasi bersama dengan pemerintah tentunya,” kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Selasa (15/4).

Pri menilai, rata-rata harga minyak dunia berpotensi bisa lebih rendah lagi dari pada US$30 per barel, terutama untuk semester I 2020. Pandemi Covid-19 juga bisa membuat perekonomian global 2020 tumbuh negatif, sehingga permintaan minyak global juga akan semakin melemah dan juga bisa negatif. Sehingga, pun ketika tensi perang harga antara Arab Saudi, Rusia dan Amerika Serikat berkurang, harga juga tetap berat untuk bisa naik.

“Ini sepertinya terbukti ketika kesepakatan pemangkasan produksi baru saja dicapai tapi peningkatan harga minyak dunia tidak signifikan,” kata Pri.

Harga minyak mentah WTI berjangka anjlok 2,05% ke level US$21,95 per barel. Minyak mentah Minyak Brent Berjangka turun 1,04% di $31,41 per barel.

Organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) bersama negara mitra atau OPEC+ sepakat untuk memangkas produksi minyak hingga 9,7 juta barel per hari mulai Mei hingga Juni 2020 atau setara dengan 10% pasokan global sebelum merebaknya pandemi corona.

Pri menilai pengaruh terhadap target lifting migas di tanah air cepat atau lambat akan segera dirasakan akibat kondisi global ini. Akan ada perlambatan mobilitas, baik di dalam pergerakan orang maupun logistik. Jelas itu akan berdampak kepada kegiatan operasional di hulu dan kemudian lifting.

Harga minyak yg rendah, cepat atau lambat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan melakukan penyesuaian di dalam budget dan expenses.

“Ujungnya pasti berpengaruh kepada kegiatan operasional. Di jangka pendek, efeknya ke anggaran untuk kegiatan lifting. Di jangka menengah-panjang, ke investasi lain seperti eksplorasi, EOR, maupun poject-project baru,” ungkap Pri Agung.

Dia mengingatkan kondisi ini berbeda dengan kondisi anjloknya harga minyak dunia beberapa kali sebelumnya. Keputusan investasi para KKKS besar di tanah air juga diperkirakan tidak akan berjalan dengan mulus. Pasalnya kantor pusat KKKS tersebut berada di negara yang saat ini sedang berjibaku juga dengan Covid-19.

“Saya kira semua sedang berupaya menghitungnya, sambil terus memantau perkembangan yang terjadi. Kalau hanya harga minyak yang turun, lebih mudah memperkirakannya. Namun ini juga bersamaan dengan pandemi Covid-19, sehingga memang lebih kompleks. Apalagi sebagian keputusan investasi KKKS juga dilakukan di kantor pusat di luar negeri seperti Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, yang saat ini juga masih bergulat dengan Covid 19,” ujarnya.

Menurut Pri Agung, kondisi saat ini juga bisa dipakai sebagai momentum untuk mengubah paradigma kebijakan hulu migas nasional. Bukan saatnya lagi di hulu migas Indonesia memprioritaskan aspek penerimaan negara sebagai yang utama. Pemerintah tidak perlu lagi mengambil porsi penerimaan negara yang terlalu besar dari migas di hulu. Tetapi lebih penting dari itu adalah bagaimana hulu tetap dapat menarik investasi, karena dari investasi itulah perekonomian akan berputar. Investasi hulu migas memiliki multiplier efek dan ada efeknya langsung juga ke neraca pembayaran nasional, moneter dan lain-lain.

Ditingkat operasional kebijakan perubahan paradigma tersebut bisa diwujudkan dengan menerpakan skema Production Sharing Contract (PSC) baru dengan split baru yang lebih menarik, kemudian memberikan tambahan insentif berupa investment credit, percepatan pengembalian cost recovery serta insentif fiskal dan non fiskal lainnya. Ini bisa diterapkan sehinga akan membantu keekonomian project-project dan investasi migas agar tetap dapat berjalan dan menggerakkan perekonomian, menyerap tenaga kerja.

“Itu yang mestinya jadi paradigma baru. Bentuk kontrak apa pun, asalkan menarik bagi investasi, dibuka selebar-lebarnya saja,” tegas Pri Agung.(RI)