JAKARTA – Jalan terjal dalam transisi energi dipastikan akan dihadapi Indonesia. Terlebih dengan masih bergantungnya Indonesia terhadap energi fosil terutama batu bara. Namun demikian cita-cita transisi energi bukan berarti tidak bisa terwujud.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengungkapkan ragam pilihan sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) dimiliki Indonesia dari sejumlah jenis EBT yang dimiliki, sumber energi panas bumi dapat dikatakan merupakan jenis EBT paling potensial untuk dapat mengakomodasi kebijakan transisi energi di sektor kelistrikan Indonesia.

Berdasarkan data yang dihimpun, Indonesia memiliki potensi energi panas bumi sekitar 29.544 MW atau setara dengan 47,30 persen dari total kapasitas pembangkit di Indonesia yang sampai dengan Desember 2020 tercatat sebesar 62.449 MW.

“Selain memiliki potensi yang besar, produksi listrik dari panas bumi dapat berperan sebagai base load sebagaimana produksi listrik yang selama ini diproduksikan dari gas dan batu bara,” kata Komaidi, Kamis (24/6).

Komaidi menilai keunggulan yang lain yang dimiliki Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) adalah Capacity Factor (CF) yang dapat mencapai kisaran 90 persen. “Yang mana lebih tinggi dari CF PLTS yang tercatat sekitar 18 persen dan PLTB sekitar 30 persen,” ujarnya.

Sebagian besar produksi listrik berbasis EBT yang diproduksikan dari selain panas bumi umumnya memiliki sejumlah kendala dan bersifat intermitensi (terputus-putus). Untuk PLTS misalnya, dalam proses produksinya akan menghasilkan energi listrik dalam jumlah yang fluktuatif tergantung atau ditentukan dari intensitas cahaya matahari. Demikian pula untuk PLTB, jumlah listrik yang diproduksikan juga akan bergantung terhadap kecepatan angin.

“Karena itu, dalam pengoperasiannya dibutuhkan pembangkit cadangan yang dapat beroperasi secara fleksibel sebagai pembangkit pendukung untuk mengantisipasi ketika PLTS dan PLTB tidak dapat memproduksikan listrik akibat perubahan cuaca,” jelas Komaidi.

Namun, masih ada kendala teknis dalam implementasi EBT untuk pembangkit listrik seperti misalnya konsekuensi dari sifat intermetensi dari sebagian produksi listrik berbasis EBT memerlukan kesiapan sistem kelistrikan untuk dapat menerimannya. Di antara konsekuensi teknis dari produksi listrik EBT yang intermetensi di antaranya memerlukan penyediaan reserve margin yang cukup dan tepat, perlu dilengkapi dengan sensor cuaca yang harus terintegrasi dengan sistem komunikasi di control center sistem kelistrikan yang besar.

”Memerlukan lebih dari satu solusi agar sifat intermitensi tersebut tidak mengganggu kestabilan sistem,” kata Komaidi.(RI)