JAKARTA – Komisi VII DPR dan pemerintah akhirnya menyepakati naskah revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) atau UU Minerba. Selanjutnya naskah revisi akan dibawa ke Badan Musyawarah (Bamus) DPR sebelum disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI yang rencananya akan digelar pada Selasa (12/5).

Perdebatan sebenarnya sempat terjadi karena ada beberapa frasa dalam naskah yang berbeda antara yang diyakini pemerintah dan para anggota Panja revisi UU Minerba. Dari total sembilan fraksi hanya ada satu fraksi yang menolak naskah RUU yakni fraksi Partai Demokrat. Serta ada satu pandangan fraksi yang belum disampaikan yakni fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang rencananya juga akan baru disampaikan pada Selasa (12/5). Sisanya tujuh fraksi menyetujui naskah revisi UU Minerba.

Meski tidak bulat keseluruhan fraksi, secara mayoritas fraksi telah menyetujui naskah yang diklaim telah dibahas sejak 2016 lalu itu.

Eddy Soeparno, Wakil Ketua Komisi VII, mengatakan naskah revisi UU Minerba sudah bisa dibawa ke dalam sidang paripurna. “Dari sembilan fraksi yang menyampaikan pendapat akhir, dengan pengecualian satu fraksi, dan fraksi PKS yang akan memberikan pandangannya besok kepada kami, maka seluruh fraksi menyepakati untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut pada pembicaraan tingkat II dalam Sidang Paripurna DPR RI,” tegas Eddy sebagai pimpinan rapat, dalam forum yang digelar Senin (11/5).

Arifin Tasrif, Menteri ESDM, yang ditunjuk sebagai perwakilan pemerintah mengungkapkan bahwa revisi UU Minerba hasil Panja telah menambah 2 Bab dan 51 Pasal, mengubah 83 Pasal serta menghapus 9 Pasal. Total perubahan pasal berjumlah 143 dari 217 pasal, atau 82% dari jumlah pasal yang ada dalam UU UU Nomor 4 Tahun 2009.

“Mengingat bahwa jumlah pasal UU Nomor 4 Tahun 2009 yang mengalami perubahan sangat besar, kami mengharapkan agar forum rapat ini dapat mempertimbangkan penyusunan revisi UU Minerba menggunakan konsep RUU penggantian, bukan perubahan,” kata Arifin.

Bambang Wuryanto, Ketua Panja Revisi UU Minerba, menegaskan pembahasan revisi UU Minerba tidak dilakukan secara terburu-buru. Pasalnya, revisi ini telah disiapkan sejak 2016. Selain itu, banyak DIM yang sama sehingga tidak perlu dibahas lebih lanjut.

Jika ada pihak yang tidak sepakat dengan hasil revisi ini, sambung Bambang, pihaknya mempersilakan untuk mengajukan gugatan judicial review. “Pembahasan terlalu cepat? jawaban kami, ini telah disiapkan sejak 2016. Pembahasan perundangan mesti dipahami. Kalau ada yang tidak pas, judicial review saja,” kata Bambang.

Dia menuturkan naskah revisi UU Minerba ini juga telah diharmonisasi dengan revisi UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Ia pun menerangkan, Panja revisi UU minerba dibentuk pada 13 Februari 2020.

Saat itu, dari jumlah 938 Daftar Isian Masalah (DIM) yang disampaikan pemerintah, disepakati 235 DIM dengan rumusan tetap sehingga langsung disetujui, serta ada 703 DIM yang dibahas dalam Panja. “Selanjutnya dilakukan pembahasan Panja bersama Tim Pemerintah secara intensif dimulai 17 februari 2020 hingga 6 Mei 2020,” ungkap Bambang.

Adapun beberapa kali perdebatan sempat terjadi terkait kewajiban membangun pengolahan pemurnian bijih atau smelter dan divestasi 51%.

Pada pasal 102, kewajiban membangun smelter bagi penambang yang sebelumnya diusulkan berdasarkan peningkatan nilai ekonomi dan kebutuhan dalam negeri. Pasal ini sempat dipertanyakan karena tidak ada substansi jelas terkait arti peningkatan nilai ekonomi yang ditargetkan. Selain itu frasa kebutuhan dalam negeri dinilai abu-abu karena seakan mengartikan apabila tidak ada industri yang menyerap hasil pengolahan dan pemurnian maka penambang tidak lagi ada kewajiban untuk membangun smelter. Akhirnya komisi VII sepakat atas usul pemerintah mengganti frasa tersebut menjadi kebutuhan pasar.

Lalu untuk poin divestasi 51%, pemerintah meminta agar frasa secara langsung dalam pasal 112 ini dihapus. Adapun pasal tersebut berbunyi Badan Usaha pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada tahap kegiatan operasi produksi yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham secara langsung sebesar 51% secara berjenjang kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, badan usaha milik daerah, dan/atau Badan Usaha swasta nasional.

Para anggota DPR sempat mempertanyakan keenganan pemerintah untuk memasukan kewajiban divestasi 51% ke dalam revisi UU Minerba. Namun pada akhirnya pemerintah setuju untuk memasukan kewajiban tersebut di dalam UU sehingga frasa tersebu digantikan menjadi secara berjenjang.

Bambang menegaskan pada awalnya, pemerintah meminta angka 51% divestasi ini dihilangkan dari UU. Hal itu ditolak oleh tim panja DPR RI sejak rapat pertama kali.

“Ketika dilakukan harmonisasi, pemerintah tetap meminta hal yang sama, tetap kami tolak. Pemerintah sekarang melunak, divestasi tetap 51 persen tetapi izin, berjenjang pemberiannya. Jadi 51% one day,” kata Bambang.(RI)