JAKARTA – Pelaku usaha minyak dan gas bumi (migas) masih akan melihat dan menunggu untuk berinvestasi selama tidak ada perubahan yang signifikan dari pemerintah terkait tata kelola industri migas nasional.

Tumbur Perlindungan, praktisi migas dan mantan Presiden Indonesia Petroleum Assume (IPA), mengatakan beberapa tindakan pemerintah sebagai upaya untuk menarik investasi hulu migas memang patut diapresiasi. Namun, ada juga tata kelola yang menyebabkan minat investasi tidak kunjung meningkat.

Beberapa poin yang membuat pelaku usaha mau berinvestasi, diantaranya adalah technical sesuai dengan teknis, economic atau sesuai dengan keekonomian, commercial serta organization atau kemampuan sumber daya manusianya. Poin terakhir yang akan dipertimbangkan adalah kondisi politik.

Menurut Tumbur,  salah satu kebijakan yang dianggap sebagai ketidakpastian adalah terdapat dalam beberapa poin dalam skema kontrak gross split.

“Dalam ESDM, certainty (kepastian) jadi masalah, gross split menteri punya deskresi dalam bagi hasil. Bisa saja kalau menteri sakit bagi hasil (kontraktor) diturunin. Hanya ada aturan di Indonesia aturan begitu. Itu jadi masalah di Indonesia,” kata Tumbur disela seminar Menakar prospek hulu migas di periode ke 2 presiden Joko Widodo, di Jakarta, Senin (21/10).

Kemudian masalah berikutnya adalah tentang kredibilitas. Poin itu sempat dipertanyakan saat  keputusan pengelolaan Blok West Ganal. Saat itu pemerintah mengumumkan ada dua perusahaan yang melakukan pengajuan pengelolaan atau ikut tender dan dinyatakan memenuhi persyaratan. Tapi kemudian pemerintah justru melelang ulang Blok West Ganal. Hal itu membuat kredibilitas tata kelola migas Indonesia dipertanyakan.

“Waktu lelang West Ganal, pemenang sudah tahu. Tapi kemudian ditunda, malah akhirnya jadi konsorsium,” tukasnya.

Selanjutnya, pemerintah dinilai terlalu banyak campur tangan dalam urusan teknis operasional perusahaan. Terutama dalam upaya menekan biaya.

Menurut Tumbur,  perusahaan adalah pihak yang paling mengerti kegiatan operasional sehingga pemerintah tidak perlu terlalu dalam menentukan langkah operasional.

“Government (pemerintah) jangan ikut campur untuk urusan technical, kalau dalam sepakbola pemerintah itu wasit tidak ikut tendang bola. Tapi ini kan ikut nendang ikut main, Kredibilitas di mata investor seperti itu dipertanyakan,” ungkapnya.

Tumbur mengatakan saat ini para investor masih tidak akan bergerak dan menunggu keputusan Presiden Joko Widodo siapa yang akan mengisi pos menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tapi dia juga menegaskan bahwa kondisi investasi migas tanah air tidak hanya ditentukan oleh gross split dan alur perizinan semata.

“Kondisi investor wait and see, kalau ada perubahan dari menteri baru, baru mau investasi. Kenapa investasi migas berkurang? Bukan hanya gross split atau perizinan aja,” ujarnya.

Di sisi lain, Djoko Siswanto, Pelaksana Tugas  Direktur Jenderal Kementerian ESDM, mengatakan migas menampik pemerintah campur tangan terlalu dalam keputusan operasional perusahaan.

Dalam ketentuan deskresi menteri di aturan gross split pada awalnya dibatasi maksimal 5%. Namun dalam perjalanannya para pelaku usaha mempertanyakan kepastian keekonomian jika dibatasi hanya 5%. “Permen ini kami khawatirkan, maksimum 5%, IPA itu ngotot kalau enggak ekonomis bagaimana? Jadi harus lihat dari sana juga,” kata Djoko

Selanjutnya dalam kasus lelang West Ganal yang diulang, Djoko menjelaskan ada dua pihak yang mengajukan nilai hampir sama.

“Konsorsium ENI (ENI-Pertamina), Neptune nilainya sama dulu, satu di signature bonus satu di komitmen pasti, akhirnya demi negara kita lelang ulang, yang tertinggi di signature bonus kita masukin, komitmen pasti kita tingkatkan, buktinya mau mereka mau semua, kalau kredibilitas dipertanyakan untuk apa mereka mau,” kata Djoko.(RI)