HALMAHERA SELATAN – Pohon sengon dan cemara laut yang rindang menjadi payung yang meneduhkan bagi orang yang melintasi Vita Vila. Ini bukan daerah wisata, tetapi merupakan area reklamasi bekas tambang. Keteduhan wilayah dataran tinggi ini juga dinaungi berbagai pohon lain seperti kayu putih, bintangur, ketapang, mahoni, kayu nani, jambu mete, johar dan gofasa. Di salah satu titik tertinggi di sana terdapat Anjungan Himalaya yang dapat digunakan sebagai tempat melepas lelah para pekerja Harita Nickel sekaligus memandang hamparan aktivitas penambangan, pembangkit listrik, dan smelter hingga bongkar muat di 7 dermaga milik perusahaan.
“Area ini yang sebelumnya merupakan lahan bekas tambang ini telah kembali hijau dan dihuni oleh berbagai macam satwa,” tutur Environment and Business Improvement Manager Harita Nickel Dedy Amrin, kepada editor dari media nasional di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Kamis (12/6).
Dedy menjelaskan kegiatan reklamasi di area tambang sebagai bagian dari kewajiban perusahaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) Nomor 3 Tahun 2020. Kegiatan ini dilakukan di area tambang yang sudah dinyatakan mine-out yakni proses penambangannya sudah mencapai lapisan batu dasar (bedrock). Material tambang yang ada di tanah tersebut sudah habis atau telah mencapai batasnya.
Sampai saat ini, kata Dedy, Harita Nickel telah melakukan reklamasi di lahan pascatambang dengan total seluas 201 hektare yang terdiri dari gabungan antara IUP PT Trimegah Bangun Persada Tbk (TBP) dan PT Gane Permai Sentosa (GPS). “Selain menjadi bagian dari kewajiban perusahaan, reklamasi juga diperlukan untuk mengembalikan kondisi dan fungsi ekologis lahan bekas tambang,” paparnya.
Harita Nickel atau Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) akan mereklamasi lahan bekas tambang seluas 66 hektare (ha) tahun ini. Tercatat sejak tahun 2017 hingga kuartal I-2025, perusahaan sudah mereklamasi lahan seluas 105 hektare. Untuk melakukan reklamasi, perusahaan mengucurkan dana sekitar Rp250 juta per ha. Dunia Energi dan editor media nasional berkesempatan melakukan penanaman pohon di area Vita Vila.
Mokhamad Rifai, Mine Reclamation Superintendent Harita Nickel, mengatakan dalam praktiknya perusahaan menggunakan sejumlah tanaman yang diidentifikasi dalam Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) untuk memulihkan lahan pascatambang. Tanaman-tanaman ini, termasuk jenis-jenis pionir, dipilih karena kemampuannya beradaptasi dengan kondisi tanah yang ekstrem di area pascatambang. “Di antaranya ada cemara laut, bintangor, gofasa, dan beberapa jenis yang lain,” ungkapnya.

Mokhamad Rifai, Mine Reclamation Superintendent Harita Nickel, mengatakan dalam praktiknya perusahaan menggunakan sejumlah tanaman yang diidentifikasi dalam Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) untuk memulihkan lahan pascatambang (Foto: Dunia Energi/dok).
Jenis tanaman pionir, tutur alumni IPB University tersebut, tidak hanya mampu bertahan di kondisi yang sulit, tetapi berperan penting dalam meningkatkan kesuburan tanah. Mereka melalui eksudat akarnya mampu menarik Plant Growth-Promoting Rhizobacteria (PGPR) serta mencegah erosi, sehingga memperbaiki struktur dan kesuburan tanah. Di area reklamasi ini, juga ditanami beberapa jenis pohon lokal dari Pulau Obi seperti pohon marsawa. Tujuannya untuk memulihkan ekosistem asli dan menarik kembali fauna endemik pulau tersebut. “Kami berusaha untuk mengembalikan area reklamasi ini seperti pada rona awal,” jelas Rifai.
Pohon-pohon yang digunakan untuk reklamasi berasal dari hasil pembibitan sendiri milik perusahaan di Loji Central Nursery. Harita Nickel melengkapi area pembibitan ini dengan sejumlah fasilitas yang modern seperti production house, laboratorium lingkungan, master plant house, rooting house, shade house, greenhouse hidroponik, hingga gudang pupuk dan perkantoran. Penyiraman pohon dilakukan secara otomatis pada jam-jam yang ditentukan. Kapasitas nursery dalam satu periode pembibitan hingga pohon siap ditanam di area reklamasi sekitar 400 ribu pohon.
“Selain tanaman pohon kayu keras, Loji Central Nursery melakukan pembibitan tanaman hias seperti anggrek untuk memenuhi kebutuhan office, serta sayuran dan buah-buahan seperti pisang untuk dikonsumsi sendiri,” ungkap Rifai.
Melakukan kegiatan reklamasi di Pulau Obi tidak mudah. Salah satunya karena cuaca yang tidak menentu. Tim Enviro menghadapi tantangan untuk menyesuaikan jadwal penanaman. “Terkadang curah hujan cukup tinggi, sementara lahan reklamasi belum siap. Kemudian ketika lahan sudah siap, hujannya tidak ada,” kata dia. Kondisi cuaca yang berubah-ubah ini menuntut adaptasi dan strategi yang fleksibel dalam pelaksanaan reklamasi.
Tantangan lain adalah schedule. Penyerahan lahan untuk direklamasi dari Divisi Mine Operation sering terlambat sehingga Tim Enviro kesulitan menyesuaikan antara kebutuhan bibit tanaman yang siap ditanam di area reklamasi yang telah diserahkan Divisi Mine Operation. “Kami melakukan strategi untuk melakukan area reklamasi secara bertahap,” kata Rifai.
Faktor Keberhasilan dan Inovasi
Keberhasilan reklamasi lahan bekas tambang salah satunya ditentukan oleh penggunaan top soil yang dikupas ketika penambangan dimulai. Tanah bagian atas itu ditimbun di area tertentu dan kemudian digunakan kembali sebagai penutup bagian atas area yang akan direklamasi ketika penambangan selesai. “Semacam bank tanah,” kata Dedy.
Selain itu, Tim Enviro Harita Nickel melakukan monitoring berkala dan evaluasi terhadap program reklamasi yang telah dijalankan dengan melibatkan pihak eksternal. Monitoring ini melibatkan pengukuran pertumbuhan tanaman, analisis kualitas tanah, dan pemantauan keberadaan flora fauna di area reklamasi dan pertambangan. “Hasil dari monitoring ini kemudian digunakan untuk memperbaiki dan mengoptimalkan program-program reklamasi dan revegetasi di masa mendatang,” kata Dedy.
Inovasi yang menonjol adalah pemanfaatan Sisa Hasil Pengolahan (SHP) yang dihasilkan dari proses pengolahan berbasis pirometalurgi berupa slag atau terak nikel yang dimanfaatkan sebagai pembenah tanah (soil ameliorant) dalam reklamasi lahan pascatambang.
Sebagai produk SHP, slag nikel sebelumnya membutuhkan pengelolaan khusus. Namun, melalui pendekatan inovatif yang dikembangkan oleh Tim Environment and Business Improvement Harita Nickel, slag nikel ini kini memiliki nilai tambah sebagai material pendukung reklamasi lahan tambang berkelanjutan. Sebelumnya slag nikel hanya digunakan dalam konstruksi infrastruktur, seperti batako, tetrapod, dan beton. ”Kini dengan kandungan silika, magnesium, dan unsur mineral lainnya, slag terbukti efektif dalam memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman,” kata Dwi Retno Handayani, Green Mining Manager Harita Nickel.
Uji coba yang dilakukan menunjukkan bahwa slag nikel terbukti efektif sebagai sumber hara untuk tanaman dan memperbaiki struktur tanah. Selain itu, inovasi ini tidak hanya berkontribusi terhadap reduksi limbah, tetapi juga membantu pemulihan ekosistem yang terdampak, mendukung pertumbuhan tanaman reklamasi seperti sengon dan kayu putih, serta mengoptimalkan pemanfaatan lahan pascatambang agar lebih produktif.
Inovasi ini memberikan manfaat sosial dengan menciptakan peluang kerja untuk masyarakat sekitar. Menurut Retno, inovasi ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang perusahaan dalam menjalankan praktik pertambangan yang bertanggung jawab. “Pemanfaatan slag nikel sebagai soil ameliorant bukan hanya sekadar pengelolaan limbah, tetapi juga sebagai langkah proaktif untuk memulihkan ekosistem dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat,” ujarnya.
Target Proper dan Pengendalian Emisi
Harita Nickel, melalui dua anak usahanya, PT Gane Permai Sentosa (GPS) dan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (TBP), berhasil meraih penghargaan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) 2024 dengan predikat Biru dari Kementerian Lingkungan Hidup. Proper Biru merupakan kali ketiga bagi GPS dan pertama bagi TBP, yang langsung mendapatkan Proper Biru pada keikutsertaannya yang perdana.
Keberhasilan mempertahankan prestasi ini sebagai wujud konsistensi perusahaan dalam menerapkan Praktik Pertambangan yang Baik (Good Mining Practices) meliputi aspek teknis, keselamatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup. “Kami tidak muluk-muluk ingin meraih Proper Emas pada tahun ini. (Target kami) Proper Hijau dulu deh,” kata Anie Rahmi, Corporate Communication Manager Harita Nickel.
Direktur Health and Safety Environment (HSE) Harita Nickel, Tonny Gultom, mengatakan Harita Nickel sebagai perusahaan pertambangan dan teknologi pemrosesan nikel terintegrasi, senantiasa mengedepankan prinsip berkelanjutan dalam seluruh aspek operasionalnya. “Komitmen ini dilakukan untuk memberikan nilai tambah bagi perusahaan serta keberlanjutan bagi lingkungan sekitar,” kata dia.
Tonny menyebutkan salah satu capaian Harita Nickel dalam bidang lingkungan diantaranya keberhasilan program reklamasi lahan bekas tambang. Berdasarkan hasil pemantauan keanekaragaman hayati yang dilakukan oleh pihak ketiga independen, ditemukan bahwa ekosistem flora dan fauna di area operasional Harita Nickel tetap terjaga. Sementara untuk jenis satwa yang dikelompokkan dalam taksa mamalia, populasi burung, herpetofauna dan serangga menunjukkan tren stabil. Di dalamnya termasuk sejumlah satwa endemik khas Kepulauan Maluku, seperti Kubu Hijau (Dobsonia viridis) dan Burung Kapasan Halmahera (Lalage aurea).
Dalam kategori serangga, penelitian mencatat 28 spesies capung dari 8 famili dan 46 spesies kupu-kupu dari 4 famili. Keberadaan capung dan kupu-kupu ini menjadi salah satu indikator kualitas lingkungan yang tetap terjaga. “Tahun ini kami juga telah berhasil melakukan revitalisasi nursery, dengan meningkatkan kapasitas luasan lahan untuk persemaian yang dilengkapi fasilitas modern,” imbuh Tonny.
Target Proper Hijau tampaknya cukup rasional. Apalagi, saat ini Harita Nickel secara sukarela melaksanakan penilaian/audit independen berstandar internasional, The Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA). Audit yang merupakan terketat di dunia ini telah berlangsung sejak 2023 dan hasilnya akan rampung dalam waktu dekat.
Secara total tak kurang dari 1.000 persyaratan dokumen maupun praktik lapangan standar IRMA yang akan melalui proses audit. Standar IRMA terdiri atas 26 bab yang mencakup 4 fokus area yakni Integritas Bisnis, antara lain kepatuhan hukum, uji tuntas HAM dan lainnya; Tanggung Jawab Sosial seperti hak tenaga kerja, perlindungn warisan budaya dan lainnya; Tanggung Jawab Lingkungan seperti pengelolaan air, emisi gas rumah kaca dan lainnya; dan Perencanaan Dampak Positif seperti dukungan dan manfaat bagi masyarakat, pemukiman kembali.
“Dengan mengajukan diri agar operasi pertambangannya untuk diaudit secara independen terhadap standar pertambangan global yang paling ketat di dunia, kita bisa tahu kita sudah sampai di titik mana,” kata Tonny.
Salah satu bentuk komitmen Harita Nickel memenuhi praktik pertambangan berkelanjutan selain reklamasi adalah penerapan sistem manajemen air tambang. Sediment Pond (kolam pengendapan) menjadi cara perusahaan dalam mengelola air pembuangan bekas kegiatan tambang kembali ke kadar semula sesuai ketentuan lingkungan untuk dialirkan ke laut sebagai muara terakhir.

Sediment pond yang dikembangkan Harita Nickel menggunakan metode khusus sehingga mampu mengendapkan partikel logam sehingga kualitas air sesuai dengan baku mutu (Foto: Harita Nickel/dok).
Senior Mine Hydrology Engineer Harita Nickel Muhamad Riftadi Hidayat menjelaskan sediment pond berada di beberapa lokasi di areal pertambangan dengan luas yang berbeda. Total luas kolam pengendapan saat ini telah mencapai 100 hektare (ha), dengan yang terluas mencapai 43 ha. “Keberadaan sediment pondmempunyai 2 fungsi, yaitu demi menjaga keselamatan operasional tambang berkaitan dengan curah hujan tinggi di Pulau Obi. Fungsi lain menjaga lingkungan sekitar pertambangan, di mana air yang mengalir ke laut sesuai dengan baku mutu yang diwajibkan pemerintah sehingga tidak mengganggu wilayah sekitar,” papar dia.
Harita Nickel juga berupaya menurunkan emisi di smelter dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). PT Megah Surya Pertiwi (MSP), salah satu unit bisnis Harita Nickel di Pulau Obi, menggunakan minyak jelantah sebagai bahan bakar substitusi dalam proses pengeringan bijih nikel (dryer kiln). PT MSP berhasil menurunkan konsumsi batubara hingga 10% per hari. Energi panas dari minyak jelantah bahkan menyumbang hingga 21% dari total kebutuhan pengeringan.
Selain memberikan dampak langsung terhadap efisiensi energi, inisiatif ini juga mencatat penghematan biaya awal sebesar Rp79 juta, dengan potensi efisiensi tahunan mencapai Rp320 juta per lini produksi. Agung Sunardi Munim, Environment Compliance & Monitoring Supervisor PT MSP, mengatakan inisiatif tersebut bermula dari ide sederhana untuk memanfaatkan limbah dapur kantin berupa minyak jelantah yang selama ini terbuang. “Kami melihat minyak jelantah sisa dapur sebagai potensi yang selama ini terabaikan. Setelah diuji, ternyata minyak jelantah terbukti efisien sebagai bahan bakar alternatif dan aman secara lingkungan,” jelas Agung.
Sejak Januari 2023, Agung bersama Tim Enviro mulai membuat desain alat, melakukan instalasi, dan melakukan uji coba pemanfaatan minyak jelantah. Dalam waktu tiga bulan, sistem sudah beroperasi secara konsisten, dan hingga kini implementasinya terus berjalan. “Mulai April 2023, inisiatif ini mulai diterapkan secara rutin, dan kini sudah terintegrasi dalam proses operasional secara rutin,” katanya.

PT Megah Surya Pertiwi (MSP), salah satu unit bisnis Harita Nickel di Pulau Obi, menggunakan minyak jelantah sebagai bahan bakar substitusi dalam proses pengeringan bijih nikel (Foto: Harita Nickel/dok).
Penggunaan minyak jelantah mendukung pengurangan emisi karbon dan polutan udara, sekaligus mencegah pencemaran pada jalur pembuangan air domestik. Program ini juga sejalan dengan praktik zero waste dan memastikan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan, termasuk Permen LHK No. 4 Tahun 2014 dan Permen P.68 Tahun 2016. Atas keberhasilan dan dampaknya yang nyata, program ini meraih Juara 1 tingkat unit bisnis dalam ajang Harita Continuous Improvement (HCI) 2024.
Sementara itu, PT Obi Sinar Timur (OST), salah satu unit bisnis Harita Nickel, mengadopsi teknologi pengendali emisi untuk meminimalisir dampak operasional PLTU terhadap lingkungan di Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Amiruddin, Deputy Head of Technical Support PT OST, mengungkapkan bahwa saat ini perusahaan mengoperasikan pembangkit listrik dengan kapasitas total sebesar 910 MW dari total kapasitas terpasang 1.670 MW yang sebagian dari kapasitasnya masih dalam tahap konstruksi. Pembangkit ini terdiri atas satu unit dengan kapasitas sebesar 150 MW, dan empat unit masing-masing berkapasitas 380 MW.
“Untuk meningkatkan kualitas pengelolaan udara, setiap unit telah dilengkapi dengan teknologi pengendalian emisi yang disesuaikan dengan karakteristik operasionalnya,” terangnya.
Amiruddin secara lebih rinci menjelaskan bahwa setiap cerobong pembangkit listrik dilengkapi dengan Continuous Emission Monitoring System (CEMS) yang telah dikalibrasi. Peralatan ini menyediakan data real-time emisi, dengan parameter sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), merkuri (Hg), dan partikel debu. Sistem ini terhubung langsung dengan Sistem Informasi Pemantauan Emisi Industri Secara Terus Menerus (SISPEK) milik Kementerian Lingkungan Hidup.
Untuk menekan emisi nitrogen oksida, seluruh unit pembangkit dibekali burner berteknologi low- NOx, yang dirancang mengurangi pembentukan NOx sejak awal proses pembakaran dengan mengontrol suhu dan aliran udara secara presisi. Sementara itu, untuk menangkap partikel debu hasil pembakaran, gas buang terlebih dahulu dilewatkan melalui Electrostatic Precipitator (ESP), teknologi yang menggunakan medan listrik untuk menangkap partikel-partikel halus sehingga udara yang dilepaskan melalui cerobong memiliki kadar partikulat sangat rendah.
Pengendalian emisi sulfur dioksida (SO2) dilakukan dengan pendekatan yang berbeda sesuai dengan kapasitas unit. Pada unit 150 MW, digunakan sistem injeksi batu kapur yang bereaksi langsung dengan gas SO₂ dalam tungku boiler. Sementara itu, untuk unit 380 MW, perusahaan menerapkan teknologi Flue Gas Desulfurization (FGD), yang dikenal sebagai salah satu metode paling efektif dalam mereduksi kandungan sulfur di gas buang industri berskala besar.
Amiruddin menegaskan bahwa seluruh proses pengendalian emisi tersebut dimonitor secara ketat menggunakan CEMS, yang mampu mendeteksi perubahan kadar emisi secara instan. “Dengan teknologi ini, kami dapat memastikan bahwa setiap emisi yang dilepaskan sudah memenuhi standar yang berlaku,” tambahnya.

Salam Kawasi” sebuah pusat pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat yang dibangun untuk mendukung transisi kehidupan warga ke Desa Kawasi Baru (Foto: Harita Nickel/dok)
Untuk pengembangan masyarakat, Dindin Makinudin, GM External Relation & Community Development Harita Nickel, menegaskan perusahaan sudah menerapkan ISO 26000 yakni standar panduan internasional untuk tanggung jawab sosial. “Perusahaan bertanggung jawab untuk menciptakan perubahan dalam masyaraat, lingkungan, ketenagakerjaan, dan pemenuhan aspek good corporate governance (GCG),” katanya.
Berbagai program pengembangan masyarakat telah dilaksanakan oleh Harita Nickel. Di antaranya adalah “Salam Kawasi” sebuah pusat pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat yang dibangun untuk mendukung transisi kehidupan warga ke Desa Kawasi Baru. “Bukit Salam Kawasi menjadi simbol tempat belajar, mandiri, dan tetap harmonis dengan alam sekitar,” ujar Supervisor Agriculture Harita Nickel Albertus Darukumara.
Di kawasan ini, kata Albert, masyarakat dapat belajar langsung terkait dengan pertanian modern dan perikanan budidaya. Hal ini untuk menopang Desa Kawasi Baru yang akan dikembangkan sebagai kawasan pendidikan pertanian berbasis wisata. “Di Salam Kawasi, warga diberi pelatihan, disediakan lahan uji coba, dan dipersiapkan menjadi petani yang paham teknologi sekaligus tuan rumah bagi wisatawan. Masyarakat di sini unik. Mereka lebih percaya apa yang mereka lihat sehingga kami menggunakan strategi pembelajaran langsung dalam bertani modern bagi masyarakat,” tuturnya.
Albert menuturkan Salam Kawasi saat ini membina 12 kelompok petani dan 2 kelompok nelayan. Masing-masing kelompok menghasilkan produk yang berbeda. Hasil pertanian dan perikanan dari kelompok tani semuanya terserap untuk memenuhi kebutuhan Harita Nickel. “Mereka berhimpun dalam Koperasi Milenial Bersatu. Koperasi yang menampung semua produk dari kelompok tani dan nelayan lalu menjualnya ke perusahaan,” katanya. (LH)
Komentar Terbaru