JAKARTA – PT Freeport Indonesia menegaskan selama dua tahun, yakni 2019-2020 produksi bijih mineral atau ore dari tambang Grasberg, Papua diproyeksikan tidak akan lebih dari 41 juta ton per tahun.

Tony Wenas, Direktur Utama Freeport Indonesia, mengatakan peningkatan produksi baru akan terjadi pada 2021.

“Tahun ini kami akan produksi sekitar 41 juta ton ore. Tahun berikutnya kurang lebih produksi akan sama dengan tahun ini.  Pada 2021 produksi akan meningkat lagi mendekati 60 juta ton dan 2022 produksi akan kembali normal,” kata Tony dalam diskusi forum CEO yang digelar di Jakarta, Rabu (27/2).

Menurut Tony, transisi kegiatan penambangan Freeport dari open pit ke underground atau bawah tanah  mempengaruhi kinerja operasional dalam dua tahun tersebut. Sepanjang 2018, Freeport memproduksi ore sebanyak 68 juta ton.

Hingga saat ini cadangan terbukti yang ditemukan 1,8 miliar ton tembaga. Apabila Freeport memproduksi tembaga rata-rata sebanyak 150 ribu ton per hari, maka sebenarnya Freeport bisa melakukan kegiatan di Grasberg selama 32 tahun.

“Izin operasi kami sampai 2041, tapi berdasarkan cadangan terbukti bisa dilakukan penambangan sampai 2051,” ungkap Tony.

Rata-rata produksi tembaga Freeport 2018 adalah 160 ribu-170 ribu ton per hari. Itu pun sebenarnya menurun jika dibandingkan masa periode produksi puncak Freeport pada 2010 yang bisa mencapai 230 ribu ton tembaga per hari.

Freeport Indonesia baru saja mendapatkan perpanjangan kontrak dari pemerintah Indonesia selama 20 tahun yang akan dievaluasi setiap 10 sekali tahun. Meski begitu, Freeport telah menyatakan tidak dapat menghindari penurunan produksi akibat masa transisi kegiatan penambangan.

Dalam laporannya ke Kementerian ESDM, tahun ini Freeport hanya akan memproduksi konsentrat sebanyak 1,2 juta ton. Anjlok dibandingkan produksi tahun lalu yang bisa mencapai 2,1 juta ton.

Bahkan EBITDA perusahaan yang 51,2% sahamnya dikuasai PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum itu diperkirakan hanya tersisa sekitar US$1 miliar dari raihan tahun lalu yang menembus US$4 miliar atau turun 75%.(RI)