JAKARTA – Harga minyak dunia diprediksi akan terus melonjak menyusul serangan terhadap kilang minyak Abqaiq dan ladang minyak Khurais yang dikelola perusahaan minyak Arab Saudi, Saudi Aramco.

Serangan terhadap dua fasilitas minyak tersebut membuat produksi minyak mentah Arab Saudi berkurang lebih dari 50% dari total produksi per hari, atau sekitar 5,7 juta barel per hari.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan kenaikan harga minyak boleh jadi akan membuat industri migas semakin bergairah. Namun  perubahan harga tersebut merupakan tahap awal terhadap respon serangan ke fasilitas kilang Arab Saudi. Padahal dari sisi fundamental ekonomi sendiri masih belum menuju kenaikan harga fantastis.

“Ini juga bisa saja spekulator ambil keuntungan,” kata Komaidi kepada Dunia Energi, Senin (16/9).

Dia menjelaskan sebenarnya pasokan minyak dunia saat ini dalam kondisi kelebihan, karena itu harga minyak dunia terus tertekan dalam beberapa bulan terakhir. Sehingga yang harus diperhatikan adalah adanya gangguan terhadap Saudi Aramco sebagai produsen utama minyak dunia maka berbagai penyesuaian yang bisa menyebabkan kenaikan harga bisa terjadi dalam beberapa waktu ke depan.

Tidak semua kebutuhan minyak dunia dipasok oleh Arab Saudi, ada juga dari Amerika Serikat. Dengan berkurangnya pasokan dari Arab Saudi maka minyak dari Amerika akan menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan.

“Daerah tertentu pasokannya dari Arab Saudi, untuk subsitusi jangka pendek tidak sederhana. Misalnya biasanya Eropa dari Arab suplainya, sebagian mau dipasok dari Amerika. Itu jalur kapal beda, waktu beda, butuh adjusment. Metika terjadi itu ada kelangkaan. Itu yang menaikan harga ketika barang langka harga naik ketika sudah terpenuhi bisa segera turun, potensi subtitusi itu ada,” jelas Komaidi

Mengutip Reuters, harga minyak mentah Brent naik US$ 7,06 per barel atau 11,7% dari penutupan New York pada Jumat waktu setempat menjadi US$ 67,28 per barel, setelah sebelumnya melonjak lebih dari 19% ke sesi tertinggi US$ 71,95 per barel pada pembukaan.

Sedangkan untuk West Texas Intermediate (WTI) AS naik US$ 5,76 per barel atau 10,5% menjadi US$ 60,60 per barel, setelah melonjak lebih dari 15% ke sesi tertinggi US$ 63,34 per barel.

Nanang Abdul Manaf, Direktur Indonesia Petroleum Association (IPA), mengatakan harga minyak dunia yang terlalu fluktuatif tidak diinginkan oleh para pelaku usaha. Karena jika tidak stabil maka akan ada kesulitan dalam perhitungan keekonomian proyek.

Menurut dia, kondisi fluktuasi harga minyak dunia tentu memberikan dampak serius,  sehingga harus diwaspadai berbagai pihak,  termasuk pemerintah, karena selalu memberikan multiplier effect terhadap ekonomi dunia, regional maupun nasional.

“Kami mengharapkan harga minyak itu stabil di angka yang favourable. Misalnya antara US$ 65 – US$ 70 per barel. Kalau terlalu fluktuasi, kami akan kesulitan dalam mengevaluasi keekonomian suatu program kerja,” kata Nanang.(RI)