JAKARTA – Warga Banten mengirimkan petisi kepada Perdana Menteri (PM) Korea, Moon Jae-In, dan Pimpinan Dewan Nasional Iklim dan Udara Bersih Korea, Ban Ki Moon, meminta penghentian dukungan pendanaan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9 dan 10, Suralaya, Banten. Tiga warga lainnya bergabung dengan warga Banten memasukkan gugatan hukum preliminary injunction di Pengadilan Tingkat 1 terhadap lembaga keuangan publik Korea.

Dalam petisinya ke PM Moon Jae-In dan Ban Ki-Moon warga Banten meyakini bahwa banyaknya cerobong PLTU Suralaya yang sekarang beroperasi sebagai penyebab tercemarnya udara di Banten.

Proyek PLTU Jawa 9 & 10 Suralaya yang berkapasitas 2.000 megawatt (MW) senilai US$33 miliar ditargetkan dibangun pada 2019 dan selesai pada 2024. Rencananya, pembangunan dilakukan PT Indoraya Tenaga, anak usaha PT Indonesia Power bersama Doosan Heavy dan Korea Midland Power. Indonesia Power merupakan anak usaha PT PLN (Persero).

Tata Mustasya, Koordinator Regional Kampanye Iklim Greenpeace Asia Tenggara, mengungkapkan sumber pembiayaan PLTU Jawa 9 dan 10 berasal dari Korea Development Bank (KDB), Korea Export-Import Bank (KEXIM) dan Korea Trade Insurance Corporation (K-SURE) yang akan diputuskan akhir tahun ini.

“Warga setempat telah mendapat pukulan langsung dari cepatnya peningkatan jumlah PLTU. Ladang garam, yang merupakan sumber pendapatan terbesar bagi warga lokal telah merosot seiring dengan berkurangnya pendapatan dari pertanian dan perikanan,” kata Tata di Jakarta, Kamis (28/8).

Dia menambahkan, warga lokal juga menderita akibat meningkatnya penyakit pernafasan dan kardiovaskular.

Meskipun polusi udara telah menimbulkan keprihatinan serius dari publik, dampak kerusakan dari 22 PLTU yang saat ini beroperasi di sekitar wilayah Jakarta akan diperparah dengan tambahan tujuan pembangkit baru.

“Para penggugat bukanlah satu-satunya yang menderita dari PLTU-PLTU tersebut. Warga Jakarta juga telah memasukan gugatan terhadap otoritas pemerintah pada Juli tahun ini dengan alasan bertanggung jawab atas penurunan kualitas udara,” ujar Arip Yogiawan, Ketua Kampanye dan Jaringan YLBHI.

Karena lembaga keuangan publik Korea telah berinvestasi dalam PLTU yang saat ini beroperasi di Indonesia seperti Cirebon 1 & 2 serta Kalsel, pemerintah Korea tidak bebas dari tanggung jawab terhadap apa kondisi yang terjadi saat ini.

Para penggugat mengkritik pemerintah Korea karena menyediakan dana publik yang masif melalui lembaga keuangan yang dikontrol pemerintah untuk proyek-proyek batu bara di luar negeri, sementara di dalam negeri menghapus batu bara untuk melindungi warganya. Para penggugat juga menjelaskan bahwa pembangunan PLTU melanggar hak konstitusional mereka untuk hidup sehat.

Peletakan batu pertama pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 dilakukan langsung oleh Presiden Jokowi pada Oktober 2017.

Gugatan ke Pengadilan Korea menjadi jalan bagi warga dalam menyelamatkan masa depan keluarga mereka dan sekaligus mempertanyakan komitmen presiden Indonesia untuk melindungi rakyatnya.

Korea adalah satu di antara tiga teratas investor PLTU di dunia dan telah membangun banyak pembangkit di kawasan Asia Tenggara. Total pendanaan yang disediakan untuk proyek pembangkit batu bara asing oleh KEXIM dan K-SURE dalam 10 tahun terakhir mencapai US$9,3 juta.

“Investasi sebesar ini bertentangan dengan target kenaikan 1,5 derajat suhu yang disepakati dunia,” tandas Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia.(RA)