JAKARTA – Pemerintah diminta konsisten menjalankan amanat Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba). Tarik ulur masalah aturan main perpanjangan kontrak para perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) bermula saat Presiden mengembalikan draft revisi ke-6 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba kepada Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), yang akan menjadi landasan hukum dalam pemberian perpanjangan usaha kepada sejumlah pemegang PKP2B yang dalam waktu dekat akan berakhir karena adanya surat dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang meminta beberapa poin revisi ditinjau ulang, termasuk poin peran BUMN di lahan tambang habis masa kontraknya.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, mengatakan pemerintah perlu menyusun kebijakan yang komperehensif terkait peran BUMN dalam pengelolaan tambang batu bara kedepan, termasuk jika mau mengelola lahan bekas PKP2B. Ini bisa menjadi momentum bagi BUMN untuk membuktikan kapasitas dan integritas dalam mengelola sumber daya batu bara.

“Koordinasi Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN harus lebih intens dan meminimalisir ego sektoral.Jangan sampai publik menduga polemik ini sebatas ‘rebutan’ lahan saja,” kata Maryati di Jakarta, Kamis (11/7).

Pemerintah seharusnya konsisten untuk menjalankan UU sehingga polemik seperti sekarang tidak akan terjadi. Ketidakkonsistenan pemerintah sendiri akhirnya berbuah terbitnya rekomendasi dari Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) yang meminta perpanjangan kontrak PT Tanito Harum dicabut kembali,  padahal sudah diberikan sejak Januari lalu.

“Terlepas dari adanya surat Menteri BUMN dan surat Ketua KPK menanggpi draft revisi PP 23 Tahun 2010, tarik ulur ini tidak akan berkepanjangan, selama semua pihak konsisten berpegang pada amanat UU minerba,” kata Maryati.

Pasal-pasal dalam UU Minerba menurut Maryati sudah sangat jelas menatur PKP2B termasuk pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang harus diawali dengan penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang dilanjutkan dengan lelang WIUPK. Kemudian prioritas IUPK untuk BUMN dan BUMD, maupun luas wilayah operasi produksi pertambangan batu bara maksimal seluas 15 ribu hektar.

Pada dasarnya, polemik tersebut dipicu oleh polemik regulasi dan pelaksanaan kebijakan yang tidak sempurna. “Sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum, serta pengawasan yang lemah termasuk oleh lembaga legislatif,” ujar Maryati.

Ketidakjelasan usaha akibat ketidakpastian hukum yang dialami oleh Tanito sendiri berpotensi merembet ke tujuh PKP2B lainnya. Padahal PKP2B lainnya merupakan produsen utama batu bara nasional yang juga pemasok utama PLN untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listriknya.

Adapun ketujuh perusahaan lainnya antara lain PT Adaro Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Multi Harapan Utama, PT Kideco Jaya Agung dan PT Berau Coal.(RI)