JAKARTA – Progres pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Grade Alumina Refinery (SGAR) milik PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dan PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Mempawah, Kalimantan Barat, sangat lambat dan dipastikan molor. Padahal, smelter yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut ditargetkan bisa rampung dan beroperasi pada Juli tahun depan. Hingga 28 Februari 2022 pembangunan fisik fasilitas itu tercatat baru mencapai 13,78% jauh dari rencana pembangunan yang harusnya progressnya sudah mencapai 71,73%.

Dante Sinaga, Direktur Utama PT Borneo Alumina Indonesia (BAI), perusahaan yang mendapatkan mandat untuk membangun smelter tersebut, mengungkapkan lambatnya pembangunan smelter diakibatkan masalah antara anggota konsorsium proyek yakni China Alumunium International Engineering Co.Ltd (Chalieco) dan PT Pembangunan Perumahan (PP) Tbk.

Masalah utama yang menjadi halangan berlanjutnya proyek adalah dispute internal konsorsium terkait perbedaan dalam biaya pengerjaan penyiapan lahan sehingga procurement jadi sangat terlambat untuk direalisasikan.

“Ini utamanya memang disebabkan oleh progress dari procurement yang sangat terlambat. Procurement terlambatnya 47,75% memang ini terkait satu sama lain. Engineering membutuhkan data procurement. Kalau procurement tidak ada datanya maka data-data barang yang akan dibeli tidak bisa disuplai. Jadi, tahapan engineering terkendala juga,” kata Dante, di sela-sela Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Senin (21/3).

BAI, , yang merupakan perusahaan patungan antara PT Inalum (Persero) dan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk pun sudah melakukan mediasi dengan melibatkan pejabat tinggi  PT PP dan Chaileco untuk mencari jalan keluar.

Eddy menuturkan masih terjadi selisih hitung nilai untuk beberapa pengerjaan antara PTPP dan  Chalieco. Eddy menjelaskan, berdasarkan cakupan pengerjaan maka PTPP bertugas untuk pekerjaan sipil dan sisanya oleh Chalieco.

“Kami tidak bisa kerja sendiri karena datanya harus dari Chalieco. Kami tidak bsa mengarang-ngarang Itu terlambat sampai ke kami bahkan belum seluruh fasilitas data-datanya diberikan ke kami,” kata Eddy.

Perselisihan internal yang terjadi terkait dengan total pengerjaan 174 item yang jadi tanggung jawab PTPP dengan nilai Rp457 miliar. Tapi item tersebut tidak diakui oleh Chalieco dan masuk dalam item lumpsum namun nilainya tidak ditambahkan. Padahal menurut PTPP jika dikerjakan saja nilainya sudah membengkak menjadi Rp1,39 Triliun. Salah satunya adalah opsi perubahan division of responsibility.

Ini berkaitan dengan isu kedua yakni kondisi tanah lunak di lokasi red mud stockyard. Red mud adalah limbah sisa dari produk refinery alumina. Lokasi tersebut harus dipindahkan agar biaya yang dikeluarkan sesuai dengan anggaran.

Pihak PTPP sudah meminta kepada pihak Chalieco untuk memberikan dana sebesar RP457 miliar sehingga relokasi lahan bisa dieksekusi tanpa harus biaya menjadi membengkak.

“Jadi kami sudah bilang ke Chalieco beri kami dana Rp475 miliar itu biar kami yang garap pindah lokasi red mud. Dana sebesar itu bisa kami cukupkan. Sudah ada kesepakatan sebenarnya tapi dari mereka memberikan beberapa pra syarat,” kata Eddy Herman Harun, Direktur Operasi Bidang EPC PTPP.

Beberapa syarat yang diajukan salah satunya adalah terkait target waktu penyelesaian Smelter.

BAI sendiri memperkirakan kemungkinan besar jika kesepakatan bisa terjalin dalam waktu 30 hari ke depan maka butuh tambahan waktu satu tahun untuk menyelesaikan smelter.

Seperti diketahui, nilai proyek ini sebesar US$831,5 juta atau hampir US$10 triliun. Proyek ini ditargetkan selesai pada Juli 2023. Namun dengan adanya keterlambatan ini maka diperkirakan baru bisa rampung 2024. (RI)