JAKARTA – Gas bumi dinilai memiliki peran strategis di masa transisi energi, sehingga perlu dimobilisasi untuk menjadi energi transisi. Pengembangan infrastruktur menjadi kunci agar pemanfaatan gas bumi ke depan lebih optimal. Untuk itu, perlu dukungan dari konsistensi kebijakan pemerintah. Apalagi sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemanfaatan gas terus didorong setiap tahunnya.

Hal itu diungkapkan Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute; Aris Mulya Azof, Chairman Indonesia Gas Society, dan Jamsaton Nababan, Direktur Portofolio dan Pengembangan Bisnis Pupuk Indonesia (Persero) DETalk bertajuk “Mobilisasi Pemanfaatan Gas Bumi Sebagai Energi Transisi” yang digelar Selasa, (27/9).

Komaidi mengatakan yang diharapkan dari pemanfaatan gas bumi adalah pertumbuhan dari penggunanya. Namun data yang ada, sampai sejauh ini growth dari industri justru turun.

“Kalau growth saja turun, bagaimana pemerintah bisa mendapatkan penerimaan pajaknya. Ini akan mengancam ekosistem industri gas itu sendiri. Jadi helikopter viewnya perlu lebih tinggi lagi,” ujar Komaidi.

Dia menambahkan sektor gas memiliki peran penting, sehingga perlu lebih bijaksana lagi dalam pengelolaannya. Jika kemudian ujungnya industri gas tidak berkembang, ke depan bergantung pada impor, sehingga biaya ekonominya bisa lebih besar.

“Bukan sesuatu yang haram apabila pemerintah melakukan review terhadap kebijakan yang sudah diimplementasikan,” kata Komaidi.

Aris Mulya Azof, mengatakan berdasarkan bauran energi nasional secara umum pemanfaaatan gas di Indonesia diharapkan terus meningkat. Jika pada 2020 minyak dan batu bara dominan dalam bauran energi nasional, maka pada 2050 kontribusinya akan menurun. Disisi lain, kontribusi gas akan meningkat, dan EBT meningkat signifikan.

“Ini harapan pemerintah ke depan. Gas masih merupakan energi yang dibutuhkan sampai menuju Net Zero Emission pada 2060,” kata Aris yang juga menjabat sebagai Senior Vice President Downstream, Gas, and Renewable Energy PT Pertamina (Persero).

Menurut dia, kebutuhan gas per sektor diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya. Namun dari pemanfaatan gas selalu bertolak belakang dengan pasokan. Pasalnya, dari sisi hulu, produksi gas nasional terus menurun, meski penurunannya lebih lambat dibanding minyak bumi.

Aris menambahkan untuk pengembangan pemanfaatan gas di sektor hulu, yang perlu didorong adalah peningkatan produksi migas melalui penyelesaian proyek-proyek migas strategis, membuat iklim investais migas yang lebih menarik untuk mengundang investor, melakukan penawaran WK migas konvesional dan non komvensional, penggunaan EOR serta peningkatan keandalan fasilitas produksi migas.

Di sektor hilir perlu dilakukan akselerasi pembangunan infrastruktur dan pembukaan wilayah baru untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi. Serta perlunya skema pembangunan infrastruktur dan kebijakan harga gas bumi yang tepat, hingga jaminan keekonomian dalam pengembangan infrastruktur dan kepastian hukum.

“Di sektor regulasi kebijakan harga gas bumi tertentu harus selalu dievaluasi untuk dapat menghitung efek berantai dari nilai tambah sesuai yang diharapkan oleh pemerintah dan industri,” kata Aris.

Sementara itu, Jamsaton, mengungkapkan pada proses produksi pupuk, gas merupakan salah satu bahan bakunya. Rencana kedepan, Pupuk Indonesia sedang mengembangkan tiga proyek strategis, yakni di Palembang, Sumatera Selatan; Papua Barat dan Blok Masela, Yamdena. Ketiga proyek tersebut akan tuntas dan mulai beroperasi masing-masing pada 2025, 2027 dan 2028.

“Ke depan akan terjadi peningkatan kebutuhan gas dari 833 MMscfd pada 2022 menjadi 1.215 MMscfd pada 2028 saat ketiga proyek beroperasi. Kita masih shortage gas,” kata Jamsaton.

Dia mengungkapkan, secara bisnis, Pupuk Indonesia juga harus mengantisipasi kondisi global, yaitu bagaimana produk yang dihasilkan tidak menciptakan emisi, atau lebih green. Untuk itu, amoniak yang dihasilkan akan didesain sejak sekarang untuk menjadi blue amonia.

Program Pupuk Indonesia ke depan, kata Jamsaton, amoniak akan menjadi salah satu alternatif bahan baku, atau bahan bakar power plant. Ini sudah terjadi di Jepang dan Korea, karena dianggap ramah lingkungan.

“Meski harga HPP blue amonia lebih tinggi, karena menyangkut lingkungan maka harganya tetap akan atraktif,” kata mantan Direktur Utama Pertamina EP Cepu itu.

Sementara itu, Taslim Z Yunus, Sekretaris SKK Migas yang menjadi keynote speaker dalam DETalk “Mobilisasi Pemanfaatan Gas Sebagai Energi Transisi”, menyebut sejumlah tantangan dalam pengelolaan gas bumi di Indonesia. Mulai dari masalah geopolitik dunia, volatilitas harga gas global, perizinan yang rumit, kebutuhan gas bumi cenderung yang stagnan, hingga infrastruktur gas yang tidak terintegrasi.

“Peningkatan kebutuhan LNG dunia dan volatilitas harga gas dunia, kondisi geopolitik dunia terutama perang Rusia-Ukraina yang berkelanjutan dan pengurangan pasokan gas dari Rusia kepada negara-negara Eropa berdampak terhadap tingginya permintaan LNG. Ini berdampak terhadap meningkatnya harga spot LNG yang dapat menyentuh US$60 per MMbtu untuk pengiriman pada periode winter,” ungkap Taslim.(RA)